Spread the love
Ully Ulwiyah, 29 tahun, mantan penderita TByang telah dinyatakan sembuh total walaupun dengan satu paru-paru.Tampak Ully sedang bercerita kepada wartawan mengenai perjuangannya untuk dapat sembuh dari penyakit infeksi menular TB, Rabu, 23 Maret 2016. (Foto : Lasman Simanjuntak/BeritaRayaOnline)
Ully Ulwiyah, 29 tahun, mantan penderita TB yang telah dinyatakan sembuh total walaupun dengan satu paru-paru.Tampak Ully sedang bercerita kepada wartawan mengenai perjuangannya untuk dapat sembuh dari penyakit infeksi menular TB, Rabu, 23 Maret 2016. (Foto : Lasman Simanjuntak/BeritaRayaOnline)

Jakarta, BeritaRayaOnline,-Ully Ulwiyah, 29 tahun,  mantan penderita tuberkulosis (TB) sebelum acara temu media dengan  dr.H.M.Subuh, MPPM, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan di Jakarta, Rabu (23/3/2016)  bercerita bahwa dirinya terkena TB sejak usia 10 tahun.

“Saya bersyukur dinyatakan sembuh sejak 2013 lalu, meskipun saat ini saya hanya gunakan satu paru-paru. Saat ini saya  bergabung dalam komunitas PETA (Pejuang Tangguh) yang dihuni para mantan penderita TB. Kegiatannya, sosial, salah satunya adalah Hospital Visit, mengunjungi para penderita TB untuk membantu memberikan semangat untuk sembuh pada penderita TB, ” ujarnya dihadapan wartawan yang biasa meliput di lingkungan Kementerian Kesehatan.
Didiagnosis Tuberkulosis (TB) sejak usia 10 tahun, Ully Ulwiyah tak pantang menyerah berobat. Pasca dinyatakan sembuh, ia kini aktif mengajak pasien TB juga ikut melawan penyakit menular mematikan tersebut.

“Saya didiagnosis TB sejak usia 10 tahun, tapi baru kenal obat di usia 12 tahun. Saya sembuh, kambuh, sembuh, kambuh, sampai saat ini dinyatakan sembuh total,” cerita  Ully dengan suara terbata-bata, nyaris terharu.

Sejak tahun 2006 Ully rutin melakukan pengobatan TB injeksi dua bulan. setelah tes dahak dan rontgen, ia dinyatakan sembuh. Namun tak berlangsung lama, akhir tahun 2007 penyakitnya kambuh sehingga ia harus menjalani pengobatan injeksi kembali.

20160323_135241

Ia beberapa kali mengalami sembuh-kambuh sampai kemudian pada bulan Maret 2011 ia terkena radang paru akut dan harus dirawat di ruang ICU selama 10 hari. Kemudian di bulan Mei 2011, Ully didiagnosis dengan TB-MDR atau Multi Drug Resistence. Pasien dikatakan mengidap MDR-TB bila ia sudah kebal terhadap obat TB lini pertama seperti Rifampisin.

“Padahal sebelumnya cek kultur dan hasilnya bagus. Setelah divonis MDR, kondisi badan saya menurun sekali. Setiap hari, hampir setiap jam saya batuk. Rasanya kesal, marah, semua campur aduk, tapi saya jalani saja,” kenang Ully yang punya wajah ayu ini.

Pengobatan TB-MDR pun ia mulai lakukan saat itu juga. Mulai dari rutin minum 13 butir obat setiap hari, sampai menjalani terapi injeksi kembali selama 8 bulan.

“Saya sempat menarik diri, menghindar dari orang-orang yang sehat. Selama di rumah pun saya memakai masker. Yang sedih, tiap anak mendekat saya tepis, saya takut menularkan. Saya jadi depresi,” ujar ibu dengan tiga orang anak ini.

Kondisinya yang naik turun juga sempat membuat Ully ingin berhenti berobat dan pasrah saja, namun diakuinya dukungan dari suami, anak dan keluarga sangat besar hingga akhirnya ia berhasil meneruskan pengobatan. Pada Maret 2014, ia dinyatakan sembuh dari TB-MDR oleh dokter di RS Persahabatan. Mulai dari situ, ia menyadari pentingnya konsisten berobat bagi pasien TB.

“Saya ingin banyak berbagi dan sharing tentang penyakit ini, saya ingin para pasien TB juga bisa sembuh. Pesan saya, sebisa mungkin pasien TB pakai masker. Jaga lingkungan rumah tetap bersih, pola makan juga harus dijaga agar sehat,” pesannya.

Pencegahan TB

Ully Ulwiyah, bercerita lagi, faktor-faktor selain jaminan akses terhadap obat juga sangat memengaruhi keberhasilan program pengobatan TB. Salah satu hal penting adalah edukasi terhadap masyarakat mengenai pencegahan TB dan jika sudah terkena TB, pasien sangat mungkin sembuh asalkan disiplin mengonsumsi obat.

“Gaungnya jangan hanya saat momentum Hari TB Sedunia karena setiap hari ada yang meninggal akibat TB,” ujarnya.

Ully mencontohkan, karena minim informasi, banyak pasien TB tahap awal yang tidak mengetahui pentingnya masker guna pencegahan penularan penyakit selama belum dinyatakan sembuh, baik untuk dikenakan oleh pasien maupun orang-orang yang berinteraksi dengan pasien.

Kebanyakan lebih teredukasi saat kuman sudah telanjur resisten dan pengobatan lebih rumit. Informasi yang minim juga membuat pasien berisiko menghentikan pengobatan setelah merasa kondisi tubuh sudah normal.

Faktor nonmedis lain adalah dukungan dari keluarga dan masyarakat sekitar terhadap pasien TB. Pengobatan dalam jangka berbulan-bulan, bahkan dua tahun jika kuman sudah resisten, kerap membuat pasien bosan hingga depresi.

Masalah bertambah karena dari pengalaman rekan-rekan Ully sesama mantan orang dengan TB, ada yang ditinggalkan keluarganya atau bercerai dengan pasangannya. Karena itu, edukasi tentang TB juga penting untuk menekan diskriminasi pasien.

 

20160323_135247Berkunjung ke Washington AS

Ully Ulwiyah, 29 tahun seorang ibu yang juga mantan pasien TB-MDR pada 24 Maret 2015 lalu berkesempatan  berkunjung ke Washington DC, Amerika Serikat dalam rangka peringatan World TB Day. Disana Ully menceritakan tentang pengalamannya hingga akhirnya ia bebas dari MDR-TB.

Sebelum keberangkatan tersebut, Ully sempat datang ke KNCV Representative Office, Jakarta dan berikut adalah rangkuman wawancara  bersama Ully Ulwiyah.

Sewaktu Ully berusia 10 tahun, Ully mengalami batuk darah. Tetapi karena kurangnya informasi sehingga orang tua Ully tidak mencari pengobatan, walaupun sudah sempat di rontgen. Ketika Ully berumur 12 tahun, tante Ully yang adalah seorang bidan kemudian mulai melihat kejanggalan terhadap Ully yang kurus dan berat badannya tidak naik.

Setelah itu, Ully diberikan puyer yang harus diminum setiap harinya selama 6 bulan. Kejenuhan dan kebosanan serta kurangnya pengawasan membuat Ully hanya meminum obatnya selama 4 bulan.

“Bila ibu saya tanya, apakah saya sudah minum obat atau belum, saya jawab sudah. Padahal obatnya saya buang” cerita Ully. Walaupun batuk saya sembuh, tetapi badan saya tetap kurus.

Karena pengobatan yang tidak selesai, Ully yang saat itu sudah duduk di bangku SMA kembali menderita batuk dengan jangka waktu yang lama. Ully kemudian memeriksakan diri ke Puskesmas lalu berdasarkan hasil rontgen dan test sputum, Ully dinyatakan positif TB.

Ully kemudian menjalani pengobatan teratur selama 6 bulan.

“Tetapi, karena tidak melakukan pemeriksaan akhir, baik itu rontgen atau sputum saya tidak tahu apakah saya sudah sembuh atau belum” ujar Ully.

Batuk yang sama berulang kembali di tahun 2006, kali ini Ully berobat ke rumah sakit swasta di Jakarta Timur. Jenis pengobatan Ully kali ini berbeda, karena Ully harus disuntik selama 2 bulan setiap harinya dan minum obat selama 9 bulan.

“Saya hanya mendapat suntik selama 47 kali dari 60 kali yang diharuskan, karena waktu itu saya positif hamil,” ujarnya.

Setelah menjalani pengobatan, pada tahun 2007 Ully dinyatakan sembuh berdasarkan hasil rontgen dan sputum.

Walaupun Ully sudah dinyatakan sembuh, pada tahun 2009 Ully kembali batuk dan kembali diobati. Dokter kemudian merujuk Ully ke salah satu rumah sakit untuk berobat. Tetapi karena saat itu juga Ully sedang mengandung anak ke-2 dan obat yang tersedia tidak boleh diminum oleh ibu hamil, Ully disarankan untuk menyelesaikan pengobatan awal dan cek kultur di Lab. Mikro UI.

Setelah 2 bulan, hasil kultur tersebut negative dan hasil pemeriksaan mikroskopis juga negative. Januari 2011, saya dinyatakan sembuh.

“Pada Maret 2011, saya kena radang paru-paru akut, yang mengharuskan saya dirawat di ICU selama 10 hari. Mei 2011, berdasarkan hasil cek kultur, saya dinyatakan positif TB-MDR,” katanya lagi.

Sejak saat itu Ully menjalani pengobatan TB-MDR dengan datang ke rumah sakit untuk disuntik setiap hari selama 6 bulan dan minum obat setiap hari 20160323_140542selama 22 bulan. Di awal pengobatan Ully hanya perlu meminum 9 butir obat kemudian ditambah menjadi 15 butir obat untuk sekali minum. Selama pengobatan tersebut Ully mengalami efek samping mulai dari yang ringan sampai yang berat dan juga kejenuhan. Akhirnya pada tanggal 15 Maret 2013 Ully dinyatakan sembuh.

Menurut Ully semangat dan support diri merupakan hal yang paling penting, karena seberapa banyak support dari keluarga atau orang lain tanpa keinginan dari kita sendiri akan sulit menjalani pengobatan.

“Bangkitkan rasa syukur di diri, karena masih ada obatnya. Apabila di tahun 2006 lalu sudah ada pemeriksaan resistensi obat mungkin saya sudah dirujuk, sehingga tidak berulang kali berobat” pesan Ully.

Sekarang ini UIly menerapkan pola hidup sehat dengan makan teratur, istirahat yang cukup dan tidak begadang. Ully sangat bersyukur karena penyakit ini masih ada obatnya dan tidak mengeluarkan biaya. (**/dari berbagai sumber/lasman simanjuntak)

Tinggalkan Balasan