Jakarta,BeritaRayaOnline,-Layanan transportasi berbasis aplikasi atau online sudah menjadi bagian hidup masyarakat di Indonesia. Bagi warga di kota besar seperti Jakarta, tentu telah merasakan apa saja untung-ruginya dalam menggunakan jasa transportasi yang dipadukan dengan kemajuan teknologi tersebut.
Bicara soal keuntungan, hal pertama yang dirasakan oleh para konsumen adalah kemudahan memesan layanan tersebut. Kemudahan itu didapatkan dengan banyaknya warga yang sudah memiliki smartphone dan koneksi internet yang mumpuni, sehingga memungkinkan untuk mengakses aplikasi dan memesan hanya dengan sentuhan jari.
Bahkan hal ini diakui juga oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, saat ditemui di Senayan, Jakarta, Senin (14/3/2016).
“Kalau efisiensi ini dinikmati masyarakat, ya harus dicarikan jalan. Regulasinya kewenangan Pak Jonan (Menteri Perhubungan),” kata Rudiantara.
Keuntungan berikutnya adalah harga di bawah tarif sebagian besar angkutan umum berpelat kuning. Dalam beberapa kesempatan, masyarakat mengakui, tidak mempermasalahkan apakah angkutan yang dia naiki berpelat kuning atau tidak, melainkan, semurah apa harga yang ditawarkan.
Masing-masing perusahaan ojek dan taksi online di Indonesia menetapkan tarifnya berdasarkan hitungan harga tertentu per kilometer. Namun, perusahaan biasanya juga memberi harga promo untuk berapa kilometer pertama. Promo itu yang banyak dimanfaatkan warga, terutama untuk layanan ojek online.
“Kalau pakai Go-Jek atau Grab, kita enak ngitungnya, harganya sudah pasti. Kalau naik ojek biasa, harganya kan bisa diketok. Kalau yang enggak ngerti harga, sama saja kena tipu,” tutur Rendi (25), salah satu pengguna jasa ojek online.
Semua layanan yang bermanfaat, tidak lepas dari hal-hal yang merugikan konsumen. Beberapa pengakuan pengguna jasa transportasi berbasis aplikasi menyebutkan, mereka mengalami tindakan yang tak menyenangkan dari si pengemudi. Ada yang digoda melalui telepon dan sms, ada juga yang mengantar tidak sesuai dengan jalur, dan sebagainya.
Pengemudi yang merugikan konsumen biasanya memanfaatkan informasi yang didapat dari aplikasi tersebut, seperti menyimpan nomor handphone penumpang.
Selain itu, pengemudi yang curang juga punya trik memalsukan order atau pesanan sehingga dia pura-pura melayani penumpang padahal sebenarnya tidak ada yang memesan.
Dari sisi pengusaha transportasi
Terlepas dari semua yang dialami konsumen, keberadaan taksi dan ojek online dilihat lebih banyak buruknya oleh pelaku usaha bidang transportasi yang lebih “senior”. Pihak Organda DKI Jakarta mengeluhkan “pendatang baru” tersebut yang dianggap menerobos semua aturan dan bersaing secara tidak sehat.
“Uber sama Grab tidak bayar pajak, tidak punya izin usaha, mereka ilegal. Banyak penumpang sekarang beralih ke sana, dampaknya, terjadi banyak pengangguran sejak dua tahun lalu. Perusahaan taksi banyak yang kolaps,” ujar Ketua Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinungan, beberapa waktu lalu.
Penyelesaian polemik ojek dan taksi online kini berada di tangan Kementerian Perhubungan. Sudah sejak lama sejumlah pihak meminta agar pemerintah membuat regulasi khusus yang mengatur layanan transportasi secara online.
Faktanya, setelah layanan itu menjamur, barulah Kementerian Perhubungan merespons dengan sempat mengeluarkan “fatwa” larangan beroperasi sampai surat rekomendasi menutup aplikasi Uber dan Grab, kemarin.
“Masyarakat tidak diperhatikan kebutuhannya oleh pemerintah. Public transport diadakan oleh masyarakat sendiri, harusnya itu tanggung jawab pemerintah,” sebut Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Soegeng Poernomo, secara terpisah.
Nasib aplikasi Uber dan GrabCar kini berada di tangan Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara. Sebab, Menteri Perhubungan Iganasius Jonan sebelumnya meminta Rudi untuk memblokir kedua aplikasi yang digunakan untuk pelayanan jasa transportasi tersebut.
Permintaan Jonan bukan tanpa sebab. Alasan mendasar yakni kedua aplikasi itu menggunakan kendaraan roda empat dengan pelat hitam atau mobil rental dan status pengelola sebagai perusahaan angkutan resmi belum jelas.
Namun, Rudiantara melihat regulasi angkutan transportasi berbasis aplikasi, Uber dan Grab Car, sepenuhnya ada di tangan Kementerian Perhubungan.
Untuk pemblokiran, dia juga tak mau berpolemik lebih dulu. Ia akan mengkaji lebih dulu untuk melihat apakah Grab Car dan Uber ilegal.
“Dari sisi Menkominfo, tidak relevan dengan regulasi, lebih banyak regulasi transportasi dan regulatornya Kemenhub. Ada juga dishub daerah,” kata Rudiantara di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (14/3/2016).
Sementara itu, Presiden Joko Widodo meminta ada jalan tengah untuk menanggapi polemik ini. Sikap tersebut untuk nantinya tak ada yang dirugikan. Lewat Staf Khusus Bidang Komunikasi Presiden Johan Budi SP, Jokowi masih menunggu keputusan dari kementerian terkait.
“Kebutuhan masyarakat harus diakomodir,” ujar Johan.
Yang tersisih dan bertahan
Munculnya Uber dan Grab Car diakui berdampak langsung pada roda usaha perusahaan taksi lokal di Indonesia. Direktur Taksi Express, Shafruhan Sinungan mengatakan perusahannya harus merumahkan sekitar 6.000 pengemudi sejak kemunculan perusahaan transportasi berbasis aplikasi tersebut.
Perusahaan, lanjut Shafruhan, tak mendapatkan keuntungan sama sekali jika tetap mempekerjakan para pengemudi. Sebab, setoran setiap harinya tak mencapai angka yang ditentukan.
Sementara itu, perusahaan harus membayar kredit ke bank dan biaya lainnya. Akibatnya 3.000 kendaraan tak dioperasikan.
“Ya rugi dong. Biaya operasional gede, sementara pemasukan dikit. Mending tinggalin aja itu mobil. Kan jadi nganggur (sopir),” kata Shafruhan, Senin.
Bukan hanya itu, menurut Ketua DPD Organda DKI Jakarta ini, sejumlah perusahaan taksi pun ikut kolaps. Perusahaan-perusahaan tersebut tak kuat bersaing dengan dua perusahaan asing tersebut.
“Ada beberapa operator taksi yang sudah kolaps. Itu beberapa operator yang punya taksi 50 kendaraan sampai 100 kendaraan,” kata Shafruhan.
Sementara itu, Direktur Blue Bird Adrianto Djokosoetono mengakui perusahannya lebih tahan. Meski berdampak, namun ia mengaku tak takut jika bersaing dengan transportasi berbasis aplikasi.
“Buat kita di Blue Bird, aturannya diperjelas lagi. Aturannya ada, kita ikutin. Karena kalau Blue Bird, sanggup juga kok. Aplikasi kita ada. Saingan sama siapa pun bisa,” kata Adrianto.(jubir/nuh/desy/eykel/las)
sumber berita dan foto : kompas.com