Spread the love

SENI RUPA DALAM ZONA SOSIAL POLITIK

oleh: Slamet Hendro Kusumo

Jakarta, BeritaRayaOnline, -Dari beberapa tulisan saya yang diunggah oleh media online, ada permintaan para sahabat untuk menulis tentang peran seni dalam pembangunan kebudayaan dan negara bangsa.

Mengapa tidak? Toh seni sesungguhnya adalah elemen sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika seni hanya memenuhi hasrat menyenangkan mata saja (visual semata) maka seni akan kehilangan makna sesungguhnya.

Yaitu sesungguhnya seni membuat manusia menjadi lebih cerdas, terinspirasi serta menghaluskan perasaan.

Namun tak menghilangkan daya kritis untuk mencapai kehidupan lebih baik. Walau makna yang terkandung dalam karya tersebut, kadang pahit dirasa, menghantam pikiran non sosial, semua iktikad baik dan kritis tersebut, sesungguhnya sudah dilakukan oleh para seniman dari waktu ke waktu dalam kondisi apapun.

Paul Ricoeur, mengatakan beberapa kebudayaan, bukan hanya satu, sebab perlu diketahui bahwa monopoli kebudayaan berujung kehancuran atas temuannya sendiri.
Paradigma dunia seni rupa, baik yang klasik hingga moderen, mempunyai andil sangat besar terhadap pembangunan bangsa lewat pikiran-pikiran kritis dan konstruktif.

Sebut saja seniman termashyur, Raden Saleh, yang melukiskan Penangkapan Diponegoro, mencerminkan betapa kuat kolonial dalam menindas bangsa Indonesia. Namun Raden Saleh merepresentasikan sosok Diponegoro memandang dengan gagah kepada pimpinan Belanda yang berkepala besar, mencerminkan kesombongan. Soejoyono, melukiskan sejumlah karya-karyanya seperti seko dan lain-lain.

Mengilustrasikan heroisme masyarakat kecil untuk melawan hegemoni Belanda. Tentang Soejoyono, memiliki ideologi bahwa seni sebagai alat untuk memperjuangkan kemerdekaan melawan Belanda, suatu strategi politik.

Oleh sebab itu konsentrasi karya-karyanya tidak sedikit memberikan sikap perlawanan terhadap tirani kolonial.

Sejawat dengan Soejoyono, juga ada pelukis Affandi yang melukiskan karya terkenalnya, Gerilya. Di mana dalam lukisan tersebut digambarkan sejumlah rakyat kecil dengan strategi gerilya bergerombol dan bersiap akan berperang.

Gerakan kesenian yang berbasis kebudayaan politik juga dilakukan oleh seniman muda, Semsar Siahaan, karena karya-karyanya yang kritis, harus keluar masuk penjara sebab kuasa politik yaitu Orde Baru sangat sensitif dan protektif terhadap kritik-kritik seni rupa menohok dari Semsar.

Di luar Indonesia, kondisinya hampir sama juga, banyak karya lukis memberikan kritik keras terhadap kejahatan, kemanusiaan yang dibingkai oleh sebuah rezim.

Misalkan di Rusia sebut saja, Ilya Repin, dalam karya lukisannya yang berjudul St Nicholas Of Myra Delivering The Three Innocement Men, 1888 mengekspos kekejaman ditaktor negaranya. Demikian juga Vasily Surikov, dalam karyanya yang berjudul The Morning Of The Execution Of The Stertlisy, 1881 menggambarkan betapa kejamnya ditaktor memperlakukan rakyat yang tidak menurut atau melawan.

Di Spanyol ada Pablo Picasso dengan Guernica-nya, betapa sang seniman prihatin dan jengkel melihat kekejaman perang. Wujud yang sama juga De Goya lewat karyanya yang berjudul The Third Of May, 1808 melukiskan segerombolan tentara sedang mengeksekusi manusia, seperti layaknya membunuh lalat.

Di luar karya-karya Goya ada sejumlah seniman lukis lain yang kurang lebih sama tentang kekejaman kemanusiaan seperti pelukis Manet, Diego Rivera dan lain-lain.
Marjinalisasi Seni Lukis dalam Tulisan Sejarah Negara Bangsa
Fakta telah membuktikkan dalam memperjuangkan pikiran-pikiran sosial politik, kemanusiaan, para seniman besar tersebut tidak jarang keluar masuk penjara, berurusan dengan satpol, hukum dari hasil sikap protektif pemerintah. Sungguh memprihatinkan bahwa sejumlah pelukis harus mati karena kejahatan kuasa suatu rezim.

Peristiwa yang terkait dengan hukuman-hukuman tersebut sempat menimbulkan trauma politik, yang tidak berhenti kepada bentuk teror psikis, fisik namun juga pengasingan dalam relasi sosial.

Tapi peristiwa itu para sejarawan, masih sedikit yang menulis sejarah dengan basis data karya lukis, namun bukan sama sekali tidak di tulis akan tetapi tulisan tersebut tidaklah fokus sebagai data baku sejarah yang diambil dari lukisan. Tapi hanya nempel (otopis), dalam sejarah besar bangsa. Intinya hanya ada di pojok kolom.

Foucalt, mengatakan bahwa posisi subjek ditentukan oleh situasi dan bertindak dengan kaitan serta domain, dari kelompok objek-objek yaitu tentang penyelidikan, eksplisit maupun implisit.

Jika sedikit tidak sombong, para sejarawan akan melihat data-data yang lebih konkrit, bahwa karya lukis secara visual tidak dapat dimanipulasi. Beda dengan karya seni lain. Misal, sastra bisa memainkan kata, film masih ada ruang manipulasi cerita. Namun karya lukis, harus dibatasi ruang yang terbatas, yaitu kanvas.

Hal ini bukan kelebihan seni lukis daripada karya seni lainnya, akan tetapi autentik, validitas, dan akurasinya tidak terbantahkan.
Memang data-data dari seni lukis, masih cukup menjadi penghias dinding saja (marginalisasi), belum bisa lebih.

Akan tetapi menariknya rentetan pameran terus saja digelar dengan event-event besar seperti Bienale, Trinale, Art State dan sejumlah event besar lainnya. Dengan pembiayaan sangat fantastis.

Peran museum-museum juga tumbuh di mana-mana. Namun di sisi yang lain juga terjadi kapitalisasi objek seni lukis masih jalan terus, cukup memberi warna niaga yang signifikan.

Menjadi alat dan hasrat hiburan pemain uang kaum borjuis dan elit politik. Entah berapa jumlah orang atau kelompok yang sangat kaya raya diuntungkan oleh politisasi karya seni lukis.

Namun juga tidak sedikit para kapitalis kecil harus lari tunggang langgang, bangkrut karena kalah dan gagal dalam persaingan komoditi seni. Ini suatu potret permainan seni bisnis tingkat tinggi.

Tapi para kreator atau seniman pinggiran, yang tidak masuk dalam zona rumit permainan tersebut, masih saja berkarya dengan segala pilihan, dengan kapasitas tetap berkarya dan bertahan hidup, walau amat bersahaja.

Memang seni pada hari ini bukan lagi persoalan visual saja akan tetapi hasil dari buah pikiran, ekspresi yang privat. Tujuannya adalah untuk merespon kondisi negara bangsa, dengan kritik-kritik menohok sebagai wujud tanggung jawab sosial.

Paul Ricoeur mengatakan bahwa semua makna dalam setiap tujuan musnah, untuk menjelajahi peradaban, akan hanya dilihat dari reruntuhan melewati jejak, sehingga seluruh umat manusia hanya terlihat di museum imajiner saja.

Strategi Kebudayaan Berbasis Seni
Kebudayaan dalam pengertiannya sudah tidak lagi hanya berbicara hal-hal yang berstuktur makna lama, yang tekanannya pada konvensi-konvensi masa lalu yang sudah dibakukan.

Akan tetapi sudah bermetamorfosis dengan dinamika-dinamika yang berbeda untuk menyatukan perbedaan, tanpa intimidasi, baik berupa ide, keterbukaan dan profesionalisme. Khususnya di bidang seni apapun. Jika di masa lalu seni masih terkotak-kotak, belum cair. Karena menganggap seni sebagai pilihan yang otonom dan privat. Kecuali Micael Angelo, pelukis dan pematung sepanjang masa yang memberikan kontribusi karya seni menjadikan Vatikan sebagai salah satu keajaiban dunia. Angelo juga memiliki kekuatan karya dibidang arsitektur.

Bahkan karena kemampuannya Angelo juga disebut sebagai bapak arsitektur dunia. Dari tangan dan pikirannya arsitektur, kelak di kemudian hari menampakkan peran yang sangat signifikan di bidang bangunan dan karya-karya seni bermuatan teknologi dan sosial.

Kegigihan Angelo memberikan inspirasi kuat pada generasi berikutnya yaitu seorang arsitektur bernama Jujol dan Antoni Gaudi yang sangat spektakuler dan mampu merubah makna rumah yang fungsional menjadi patung yang berarsitektur masterpiece, yang abadi sepanjang masa.

Di Indonesia ada juga sejenisnya yang juga masuk dalam situs dan ritus keajaiban dunia seperti kehebatan Candi Borobudur, Candi Perambanan, Candi Penataran, Candi Boko dan sejumlah narasi visual besar lainnya. Akan tetapi nama seniman yang membuat relief dan bangunan candi tersebut tidak menempelkan identitasnya kecuali atas nama raja.

Hal tersebut dikarenakan suatu prinsip teologi, bahwa keyakinannya seniman tidak memiliki hak atas apa yang dikerjakan pada relief tersebut, kecuali darmanya kepada sang khalik.

Schneider, menyampaikan bahwa produksi dalam hubungan formal diakibatkan hak-hak individual secara sosial ikut dalam proses produksi serta mendapatkan hasilnya.

Ke luar biasaan tersebut tentunya sangat komplek dalam proses penciptaan, ada balutan filosofi, teologi, konstruksi sistem dan lain sebagainya.

Kembali kepada ide-ide tersebut tentunya sang seniman tidak jalan sendiri, ada gabungan disiplin yang lain terlibat.

Seperti ahli konstruksi, ahli sesanti, manajemen pengelolaan tenaga kerja, keahlian visual, professional dan sejenisnya. Kerja besar ini jika di dunia kontemporer disebut sebagai industri kreatif kebudayaan yaitu industri yang berbasis keluhuran lokal dari masing-masing wilayah, negara bangsa yang memiliki diferensiasi Maha Agung, utamanya yang berbasis teologi.

Schneider, menyatakan bahwa pengasingan diri, adalah bentuk keprihatinan yang tercermin sifat serta masalah-masalah dalam masyarakat industri.

Di dalam pembangunan teologi, seniman pasti tidak akan kerja seni setengah-setengah, pasti bekerja dengan skill tingat dewa.

Karena di dalamnya ada privatisasi, ada sugesti, ada keyakinan dan kecintaan terhadap Tuhan atau dalam falsafah Jawa disebut manunggale kawulo Gusti.

Oleh sebab itu tidak ada satu karya pun dengan basis teknologi yang tidak bermutu, tidak indah, tidak manfaat, utamanya sebagai artefak dan daya imajinasi hebat, untuk diwariskan pada generasi ke generasi.

Inilah bentuk dan sumbangan seniman rupa sebagai tanggung jawab sosial. Dan berdampak kepada ideologi, sosial, serta niaga.(**)

Tancep kayon, Bumiaji 09 September 2022

Biodata Penulis : 

Slamet Hendro Kusumo (henkus) lahir di Batu, 5 Mei 1959 adalah seorang pekerja seni lukis/rupa di Batu. Menyelesaikan pendidikan program doktor (S3) Sosiologi di Universitas Muhammadiyah Malang tahun (2021).

Aktif mengadakan pameran seni rupa diberbagai kota di Indonesia dan dibeberapa Negara. Sejak 1979 s.d 2022 kini mengelola Omah Budaya Slamet (OBS), yang didirikan tahun 2002.

Bergerak dalam kegiatan dan pemikiran kebudayaan, dll. Sebagai narasumber di bidang filsafat, sosiologi, politik dan kebudayaan antara lain di Universitas Muhammdiyah Malang, Universitas Brawijaya, Universitas Islam Negeri, Universitas Kanjuruhan, Pamong Kebudayaan Jawa Timur, sejumlah UKM diberbagai perguruan tinggi, komunitas-komunitas independen di berbagai wilayah Indonesia, sejumlah perguruan tinggi Amerika saat berkunjung di OBS, sejumlah parta politik dan beberapa dinas Pemkot Batu. Penulis Esai di media online seperti di website kliktimes.com, myberitaraya.blogspot.com dan beritarayaonline.co.id.

Penghargaan antara lain pembuatan Buku Pesona Kota Batu tahun 1988 oleh Bupati Abdul Hamid, sebagai Panwascam Batu 1999 oleh Ketua Pengadilan Negeri Malang, terpilih 5 Besar Pra biennale Bali Jawa Timur 2004, Penghargaan DPRD Kota Batu sebagai penggagas, pemikir dan penggerak dalam peningkatan status Kotatif Batu tahun 2009 dan 2014, salah satu (milestone artist) Biennale Jatim 6 tahun 2015, Encompass Awards tahun 2016 (dari Encompass Indonesia), penghargaan “Kreator Bidang Seni Rupa” tingkat Jawa Timur tahun 2016 oleh Gubernur Jawa Timur, Tourism Awards dari Walikota Batu sebagai Budayawan tahun 2021.Dewan Penasehat Forum Pamong ( FPK ) Kebudayaan Jawa Timur ( 2022 )
Ketua Dewan Penasehat PERSATUAN PENULIS INDONESIA SATUPENA JAWA TIMUR.

——————————————————————–

Editor  : Pulo Lasman Simanjuntak

Tinggalkan Balasan