Jakarta, BeritaRayaOnline,-Bertepatan dengan peringatan 95 tahun Sumpah Pemuda (1928 – 2023), diskusi sastra MEJA PANJANG jilid dua mengambil tema : Peran Sastra dalam Jurnalistik, dan Peran Jurnalistik dalam Sastra.
Diskusi Sastra MEJA PANJANG berlangsung di Lantai 5, Gedung Ali Sadikin, Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat, 27 Oktober 2023.
Menghadirkan Pembicara Utama Hendry CH.Bangun (Ketua Umum PWI Pusat), Pembicara Pendamping Yusuf Susilo Hartono (Sastrawan, Perupa, Wartawan), Pembicara Pendamping Mustaf Ismail (Wartawan, Sastrawan) dengan Moderator Rita Sri Hastuti (Pengurus PWI Pusat).
“Sebagai pembicara pendamping, ijinkan saya melakukan refleksi seputar : Sastra (di) Indonesia, Jurnalisme, dan Era Diversifikasi-Konvergensi Media.
Sebagai pembuka refleksi, saya mengajukan tiga pertanyaan kritis. Pertanyaan pertama: Apakah realitas bahasa Indonesia hari ini, sama persis dengan cita-cita Kongres Sumpah Pemuda ke-2 waktu itu (1928)? Dan apakah realitas “penderitaan” bahasa-bahasa daerah sebagai bahasa ibu di Indonesia saat ini, sesuai dengan bayangan pada waktu itu,” kata Yusuf Susilo Hartono.
Pertanyaan kedua : Antara sastra Indonesia dan jurnalisme Indonesia, modal awalnya sama, yakni bahasa Indonesia, hasil Sumpah Pemuda. Lalu bagaimana dengan bahasa-bahasa daerah yang telah hidup berabad-abad sebelumnya di berbagai pelosok nusantara, dalam hubungannya dengan jurnalisme (di) Indonesia?
Pertanyaan ketiga : Bagaimana praktik saling mempengaruhi dan memperkaya antara sastra Indonesia dan Jurnalisme (di) Indonesia, di era diversifikasi dan konvergensi masa kini. Sebuah era yang muncul, akibat dari perkembangan teknologi komunikasi ciptaan umat manusia, sebagai garda depan kapitalisme global.
Realitas Bahasa (di) Indonesia
Apakah realitas bahasa Indonesia hari ini, persis seperti yang dicita-citakan oleh Kongres Sumpah Pemuda ke-2 waktu itu (1928)? Jawabnya : tidak! Sebab Sumpah Pemuda butir ketiga, sudah diselewengkan. Dari semula berbunyi “Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, dalam realitasnya menjadi “… berbahasa satu, bahasa Indonesia”.
Saya setuju bahwa ruh dari Sumpah Pemuda adalah persatuan: Bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; Berbangsa satu, bangsa Indonesia; dan khusus butir ketiga, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Dengan frasa ketiga tersebut, konseptor Sumpah Pemuda Muhamad Yamin, sadar betul bahwa kehadiran bahasa Indonesia (yang dibayangkan), sebagai bahasa baru yang berakar dari bahasa Melayu, tidak untuk menjadi “Si Malin Kundang”.
Dalam arti, sebagai anak demokrasi, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, ingin tetap menghormati dan memberi hak hidup, pada ibunya (bahasa-bahasa daerah).
Akan tetapi dalam realitas perkembangannya, termasuk dalam politik anggaran nasional maupun daerah, perlakuan terhadap “anak” (bahasa Indonesia) dan “ibu” (bahasa-bahasa daerah) jauh dari rasa keadilan, meski dengan alasan “demi persatuan”. Tengoklah, hari ini belasan bahasa daerah sudah mati. Tercatat 714 bahasa daerah yang masih hidup.
Pertanyaannya, hidup seperti apa : bahasa Jawa, Sunda, Bali, Bugis, Batak, Minang, Manado, dll. Terjadi kemerosotan, baik kualitas maupun kuantitas. Pada umumnya sedang sakit. Berbagai kongres dn seminar digelar untuk itu, tapi tidak mengubah apa-apa. Maka pada hari ini, dari Meja Panjang – PDS HB Jassin ini, mari kita semua berseru dan mengambil tanggung jawab “memurnikan” Sumpah Pemuda, khususnya butir ketiga!
Memang, Sutardji Calzoum Bachri, telah menyadarkan kita bahwa sebagai teks Sumpah Pemuda itu adalah puisi yang ditulis dalam bahasa prosa, yang sarat dengan unsur puisi. Sebagai puisi, teks Sumpah Pemuda menciptakan sebuah dunia imajinasi, suatu dunia tersendiri yang tak dapat dirujuk pada realitas yang ada pada waktu itu.(Majalah Horison, XXXIV/7/2000).
“Perlu ditambahkan, bahwa semboyan bangsa Bhinneka Tunggal Ika yang tertulis pada simbol negara, Garuda Pancasila, itu juga puisi, dari jenis kakawin. Bhinneka Tunggal Ika artinya berbeda-beda tapi tetap satu. Dipetik dari Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular. Isi Kitab Sutasoma atau Kakawin Sutasoma merupakan karya sastra peninggalan pujangga Mpu Tantular. Kitab ini ditulis dalam bahasa Jawa Kuno, akhir abad ke-14,” ucapnya.
Oleh karena teks Sumpah Pemuda maupun semboyan Bhinneka Tunggal Ika, itu puisi, maka tidak terlepas dari tafsir. Yang kita butuhkan hari ini, tafsir yang bisa membawa kita kearah Indonesia yang lebih baik. Tafsir yang menghidupkan yang satu (bahasa Indonesia), tanpa mematikan yang lain (bahasa daerah). Tafsir yang mengagungkan perbedaan untuk persatuan, bukan perbedaan untuk memperkokoh perpedaan itu sendiri (Bhinneka Tunggal Ika)
Sastra dan Jurnalisme, Saling Mempengaruhi
Antara sastra Indonesia dan Jurnalisme Indonesia, modal awalnya sama, yakni bahasa Indonesia; hasil dari Kongres Sumpah Pemuda ke-2. Lalu bagaimana dengan bahasa-bahasa daerah yang telah hidup berabad-abad sebelumnya di berbagai tempat di nusantara; itu dalam hubungannya dengan jurnalisme (di) Indonesia. Kalau hanya bahasa Indonesia yang harus kita junjung sebagai bahasa persatuan, lalu bahasa-bahasa daerah itu diapakah dan sebagai apa?
Secara eksplisit tekstual, Sumpah Pemuda tidak “berimajinasi” dan menulis apapun tentang bahasa-bahasa daerah di Tanah Air. Dan gerak langkah jurnalisme di Tanah Air, tentu saja lebih mengarusutamakan yang berbahasa Indonesia, sebagai sarana persatuan. Sekali lagi saya bertanya, lalu dalam konteks Sumpah Pemuda, apa dong tugas bahasa-bahasa daerah?
Ingat, sejak sebelum kemerdekaan hingga saat ini jurnalisme dengan bahasa daerah masih terus berjalan di Tanah Air. Sebagai bukti beberapa majalah cetak masih bertahan hidup, seiring dengan tumbuhnya media-media online, blog, dll. Contoh di Pulau Jawa dan Bali. Di tataran Sunda masih ada majalah Mangle, berbahasa Sunda, yang terbit sejak 1957. Di Yogyakarta, masih hidup beberapa majalah berbahasa Jawa, antara lain Mekarsari, terbit sejak 1961.
Yang dahsyat, di Surabaya, ada majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat, lahir 1933 (baru saja merayakan HUT 90 tahun). Majalah Jaya Baya, lahir 1945, kini berusia 78 tahun. Di Bali, ada majalah berbahasa Bali, yakni Burat Wangi di Kabupaten Karangasem, dan Canangsari di Kabupaten Gianyar, yang terbit 1999, era reformasi sampai sekarang.
Mari kita tinggalkan sementara ihwal Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia, dan bahasa daerah. Kini mari masuk lebih dalam dan bertanya : Apa sesungguhnya pengaruh dan peran sastra pada jurnalisme, dan sebaliknya. Jujur ini isu lama, tapi masih enak dan perlu untuk dibicarakan. Jadi ingat motto “enak dibaca dan perlu”, majalah Tempo, yang sejak 1990 secara konsisten mengembangkan jurnalisme sastra di Tanah Air.
Pengaruh dan peran sastra pada jurnalisme itu antara lain:
Gaya Penulisan: Sastra seringkali menekankan penggunaan bahasa yang indah dan imajinatif. Ini dapat memengaruhi jurnalis dalam hal penulisan kreatif dan ekspresif, yang dapat membuat berita atau laporan yang menarik bagi pembaca.
Narasi: Sastra sering menggunakan teknik naratif yang kuat, seperti pengembangan karakter dan plot yang mendalam. Ini juga dapat diterapkan dalam jurnalisme untuk menghadirkan cerita berita dengan lebih baik, memungkinkan pembaca untuk lebih memahami dan merasa terlibat dalam cerita tersebut.
Metafora dan Simbolisme: Sastra menggunakan metafora, simbolisme, dan bahasa kiasan untuk menyampaikan makna yang lebih dalam. Jurnalis dapat menggunakan elemen-elemen ini untuk menggambarkan situasi atau peristiwa dengan cara yang lebih kuat dan bermakna.
Konteks Budaya dan Sejarah: Sastra sering mencerminkan konteks budaya dan sejarah suatu masa. Ini dapat membantu jurnalis dalam memahami lebih baik latar belakang cerita atau peristiwa yang mereka laporkan, dan bagaimana hal itu dapat memengaruhi masyarakat.
Sebaliknya apa peran dan pengaruh jurnalisme pada sastra , dalam hal ini puisi dan prosa.
Sumber Inspirasi : Berita dan peristiwa yang dilaporkan dalam jurnalisme dapat menjadi sumber inspirasi bagi penulis sastra. Mereka dapat menggunakan latar belakang berita tersebut sebagai dasar untuk menciptakan cerita fiksi yang mendalam
Isu Sosial Politik : Jurnalisme sering kali mencakup isu-isu sosial dan politik yang signifikan.
Penulis sastra dapat menggambarkan dan mengomentari isu-isu ini melalui karya sastra mereka, menciptakan narasi yang mempengaruhi pembaca dan mempromosikan pemahaman yang lebih dalam tentang masalah-masalah tersebut.
Penggunaan Bahasa : Bahasa yang digunakan dalam jurnalisme juga dapat mempengaruhi penulis sastra dalam penggunaan kata-kata dan gaya penulisan. Beberapa penulis mungkin mencoba untuk menciptakan karya sastra yang mencerminkan kejelasan dan ketepatan bahasa jurnalistik, sementara yang lain mungkin mengejar krativitas dan bahasa yang lebih indah.
Pengaruh Budaya Populer : Berita dan liputan media juga memengaruhi budaya populer. Ini bisa mencakup popularitas cerita tertentu atau topik yang diangkat dalam berita. Penulis sastra mungkin mencoba mengeksploitasi tren-tren ini dalam karya mereka untuk mempertahankan relevansi dan menarik perhatian pembaca.
Pemahaman Dunia Sastra :Jurnalis yang memiliki pemahaman tentang sastra mungkin lebih cenderung menggunakan pengetahuan ini dalam penulisan mereka. Mereka dapat mengaplikasikan elemen-elemen sastra seperti narasi yang kuat dan gaya penulisan yang kreatif dalam karya jurnalistik mereka.
Pengaruh ini, dari sisi positif, dapat menciptakan saling pengayaan antara jurnalisme dan sastra — terutama yang kritik sosial — yang keduanya dapat mempengaruhi dan mendukung satu sama lain dalam menyampaikan pesan kepada pembaca/apresiator.
Sutardji Calzoum Bachri punya pandangan menarik tentang puisi. Dalam tulisannya berjudul “Rasa Hormat Maksimal terhadap Puisi” menegaskan bahwa puisi adalah dunia tersendiri, dunia imajinasi yang diciptakan lewat kata-kata. Kemandiriannya yang menonjol, sehingga tidak perlu merujuk pada realitas, karena lebih layak dijadikan bandingan (komparasi) realitas.
Pada bagian lain, Sutardji melihat bahwa dalam masyarakat luas, sajak-sajak yang merujuk pada realitas, terutama sajak-sajak sosial politik, lebih dikenal dan mendapat apresiasi luas dibanding dengan sajak-sajak otonom. Itu dapat dipahami karena seorang penyair lebih artikulatif dan retoral dalam menuangkan ugeg-uneg dan euphoria masyarakat, dibanding masyarakat umum.
Dalam lanskap pekerja sastra Tanah Air, para sastrawan, penyair, cerpenis, novelis yang sekaligus wartawan, atau mereka yang bersentuhan dengan dunia pers, jumlahnya cukup banyak dan keberadaannya diperhitungkan.
Beberapa contoh saja, Goenawan Mohammad (Tempo), Taufiq Ismail (Horison), Putu Wijaya (Zaman), Bre Redana (Kompas), Korrie Layun Rampan (Sarinah), Motinggo Busye (Kartini), Diah Hadaning (Swadesi), Danarto (penulis lepas), Remy Silado (Aktuil), Titie Said (Famili), Abdul Hadi WM (Budaya Jaya, Berita Buana), dan Ahmadun Y. Herfanda (Republika). Dan masih banyak lagi yang muda-muda.
Sastra, Jurnalisme, dan Era Diversifikasi – Konvergensi Media
Seperti kita tahu, sebelum ditemukan kertas dan mesin cetak, sastra telah disampaikan secara lisan, atau ditulis diatas kayu, kulit, hingga batu. Setelah ditemukan kertas dan mesin cetak, maka puisi dan prosa ditulis/dicetak pada kertas.
Perkembangan sastra tulis, seiring jayanya buku, dan media cetak, telah memungkinkan karya-karya tersebar ke seluruh dunia, baik versi bahasa aslinya maupun terjemahan.
Namun setelah manusia menemukan internet, kemudin memicu perkembangan media digital, maka muncul keragaman media komunikasi (divervikasi) dan disisi lain media cetak surut jauh, bermunculan berbagai bentuk media, yang memungkinkan puisi dan prosa ikut muncul di sana. Puisi dan cerpen bermunculan pada situs web, blog, podcast, bahkan whatsapp, instagram, facebook, youtube, tiktok, dan lain-lain.
Maka kata, sebagai bahan baku puisi dan prosa, akhir-akhir ini seperti tidak percaya diri untuk tampil sendirian. Kata-kata itu maunya tampil bersama desain grafis yang menarik, hingga video dan film yang hidup, bahkan penulisnya ikut mejeng. Maka karya sastra mutakhir, tak
ubahnya dengan multi media (video/film). Hal itu, tentu saja mempengaruhi cara orang mengkonsumsi karya sastra mutakhir. Sehingga untuk mendifinisikan karya sastra yang baik hari, memerlukan kriteria penulaian yang baru, baik secara instrinsik maupun ekstrinsik.
Masalahnya kini kritikus sastra “sudah mati”.
Lalu bagaimana praktik saling mempengaruhi dan memperkaya antara sastra Indonesia dan Jurnalisme (di) Indonesia, era diversifikasi – konvergensi media masa kini. Sebuah era, akibat dari pengaruh berkembangnya teknologi komunikasi ciptaan umat manusia, sebagai garda depan kapitalisme global.
Bagaimana perkembangan ke depan “sastra dengan pendekatan jurnalistik?” dan sebaliknya “Jurnalisme dengan pendekatan sastra?
Beberapa perkiraan dan tren mungkin meliputi :
Diversifikasi Media : Seiring berkembangnya media digital dan platform daring, para penulis mungkin semakin memiliki akses untuk menggabungkan unsur-unsur jurnalisme dan sastra dalam berbagai bentuk media, termasuk situs web, blog, dan podcast. Ini akan memungkinkan lebih banyak penulis untuk mengekspresikan diri mereka melalui gaya penulisan ini.
Peningkatan Kolaborasi : Penulis sastra dan jurnalis mungkin lebih cenderung untuk berkolaborasi dlam membuat karya-karya yang menggabungkan kedua disiplin tersebut. Ini dapat menghasilkan karya yang lebih beragam dan kreatif.
Fokus pada Isu-isu Sosial Politik : Seiring meningkatnya kompleksitas masalah sosial dan politik di seluruh dunia, jurnalisme sastra dapat menjadi sarana yang lebih penting untuk mendalami dan mengomentari isu-isu ini dengan cara yang mendalam dan kratif.
Pemberdayaan Suara yang Terpinggirkan : Jurnalisme sastra dapat memberdayakan suara-suara yang mungkin terpinggirkan atau kurang terwakili dalam media konvensional. Ini termasuk penggunaan sastra dan bahasa yang mewakili berbagai kelompok masyarakat.
Pertumbuhan Literasi : Pendekatan ini juga dapat memperkuat literasi dan minat membaca, terutama di kalangan generasi muda, dengan memadukan narasi kuat dengan pembahasan isu-isu penting.
Namun, saat jurnalisme sastra berkembang, penting untuk mempertahankan prinsip-prinsip jurnalisme seperti akurasi, objektivitas, dan integritas, sambil mempertimbangkan kebebasan berekpresi dan kreativitas dalam sastra. Masa depan jurnalisme sastra akan sangat dipengaruhi oleh perubahan dalam teknologi, budaya, dan tuntutan masyarakat terhadap jenis berita dan cerita yang mereka inginkan.
Menjaga Marwah sastra dan jurnalisme
Dalam era diversifikasi- konvergensi media seperti itu, pertanyaanya : apa yg harus dipertahankan pada sastra, dan apa yang harus dipertahankan pada jurnalistik, agar mereka tetap punya marwah masing-masing?
Pada sastra perlu mempertahankan :
1. Kebebasan Ekspresi : Penting bagi sastra untuk tetap menjadi wadah kebebesan ekspresi di mana penulis dapat menggali berbgai tema dan ide tanpa terlalu banyak pembatasan. Sastra harus tetap menjadi tempat untuk berekpresi kreatif dan mendalam.
2. Kreativitas dan Imajinasi: Sastra adalah tempat untuk mersyakan kreativitas, bahasa yang indah, dan imajinasi. Penulis sastra harus diberi ruang untuk mengembangkan karya mereka dengan kebebasan artistik.
3. Kekayaan Budaya: Sastra adalah salah satu cara untuk melestarikan dan merayakan kekayaan budaya dan warisan. Ini adalah tempat di mana nilai-nilai budaya dan cerita-cerita tradisional dapat dijaga dan dilestarikan.
Pada jurnalisme perlu mempertahankan:
1. Fakta dan Akurasi : Jurnalisme harus tetap memprioritaskan fakta, akurasi, dan kebenaran. Kepercayaan pembaca sangat penting, dan berpegang pada standar tinggi dalam menginformasi fakta adalah inti dari jurnalisme.
2. Kemerdekaan Pers: Prinsip kemerdekaan pers harus dijunjung tinggi. Jurnalis harus bebas untuk menyampaikan verita dan laporan tanpa campur tangan eksternal yang tidak sah.
3. Etika Jurnalistik: Etika Jurnalistik seperti objektivitas, keadiln, dan integritas harus dijaga dengan ketat. Jurnalis harus terus mematuhi kode etik profesi mereka.
4. Pemberdayaan Masyarakat : Jurnalisme memiliki tanggung jawab sosial untuk memberdayakan masyrakat dengan memberikan informasi yang benar dan relevan . Ini adalah inti dari pelayanan publik yang dilakukan oleh jurnalis.
“Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan bahwa, saat bersaing dengan berbagai media dan pendektan baru, penting bagi sastra dan jurnalisme untuk menjaga prinsip masing-masing. Keduanya dapat saling melengkapi dan memberikan makna yang berharga dalam informasi dan ekspresi kreatif. Dan jangan lupa, mari kita murnikan Sumpah Pemuda, terutama butir ke tiga, agar semuanya dapat hidup, berbeda-beda tetap satu,” pungkasnya. (**
BIODATA
Yusuf Susilo Hartono, lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, 1958. Pernah menjadi guru, dan staf Dinas Kebudayan di Kab. Bojonegoro. Dikenal sebagai penyair, pelukis dan wartawan. Aktif sebagai wartawan / Koordinator Wartawan Kebudayaan PWI Jaya bermarkas di TIM 1987-1999. Pengurus di PWI Pusat, 2008-2023, Yayasan Seni Rupa Indonesia (1995 – 2015), Asosiasi Tradisi Lisan (1996- sekarang). Humas Kongres Kesenian I/1995, dan II/2000. Sejak 1980 terjun ke dunia pers. Pernah bergabung di Surabaya Post (Perwakilan Jakarta, reporter seni budaya, 1987-1999), Harian Merdeka (redaktur, 2004-2005), Visual Arts (Pemred, 2007-2012), Majalah Galeri (Pemred, 2012-2022), Majalah Kabare (Jakarta, 2016-2018), dan lain-lain. Pameran tunggal terbaru, Among Jiwo : Restrospeksi 40 Tahun Berkarya di Museum Nasional, November 2022. Buku-bukunya meliputi kumpulan sketsa, jurnalistik, biografi, cerita anak Orang-orang Cacat (Balai Pustaka, 1984), dan antologi puisi (bahasa Indonesia dan Jawa), yang tunggal antara lain: Aku Memilih Jadi Cahaya (2015), Ombak Wengi (2011) mendapat Hadiah Sastra Rancage (2012), Serat Plerok (2016), Gurit Saidu (2021), dan terbaru Semi di Musim Semu (2023). Dan puluhan kumpulan puisi bersama. Kontak. 081283127458, silonegoro@gmail.com.(*)
Editor : Lasman Simanjuntak