Jakarta, BeritaRayaOnline,- “Senja Berpuisi” yang digagas PDS HB Jassin, bekerja sama dengan Dinas Perpustakaan & Kearsipan (Dispusip) Provinsi DKI Jakarta, OMG Organizer dan Dapur Sastra Jakarta, sampai saat ini sudah menampilkan pementasan yang ke empat kali.
Di bulan Juli 2022 tampil ‘Penyair Seksih’ di salah satu ruang terbuka Pekan Raya Jakarta. Selanjutnya di bulan Agustus 2022, berlokasi di Selasar PDS HB Jassin menampilkan “Parade Baca Puisi” (20/08).
Dan di bulan September 2022 tampil Taman Inspirasi Sastra Indonesia (03/09), Kolam Jiwa (10/09), serta Zam Mime (11/09). Lokasi di Gedung Ali Sadikin/ Selasar PDS HB Jassin.
Kalau diamati dari jumlah penonton; sepertinya tidak terlalu menggembirakan. Di satu sisi, mayoritas penonton hanya dari komunitas Sastra-Teater.
Di sisi lain, jika diamati dari Daftar Hadir — penontonnya belum menjanjikan. Panitia terkadang harus bersusah payah merayu orang-orang yang lalu-lalang (mungkin mereka termasuk tamu setia perpustakaan). Panitia bahkan mesti menjanjikan akan ada door prize (berupa buku-buku sastra).
Sepanjang sejarah, menggagas sebuah tontonan yang menghibur dan menyisipkan ilmu memang tak semudah membuka telapak tangan.
Panitia dituntut kreatif dengan konsep yang jelas sebelum konsep itu dikaji ulang oleh komunitas.
Sebagai bagian dari panitia Senja Berpuisi, saya merasa lega ketika sebuah komunitas membawa massa ke ruang terbuka dengan pemikiran mengedukasi dan mengapresiasi sebuah karya; dimana karya tersebut memiliki nuansa tanpa keberpihakkan.
Yang namanya Senja Berpuisi, seperti tertera di X-Banner ialah peetunjukkan Baca Puisi, Musikalisasi Puisi, Teatrikal Puisi, Pantomim Puisi, Visualisasi Puisi, dan sebagainya.
Meskipun yang tertera di X-Banner itu bisa saja dikembangkan. Umpamanya Talk-Show atau Podcast. Tinggal bagaimana pegiat kesenian itu mampu berkreasi.
Mengamati pementasan Senja Berpuisi, saya masih melihat sebagian penampil belum mampu membangun sebuah karya sebagai sebuah tontonan yang menghibur.
Audiance asik-asik saja sebagai pendengar; tapi tidak sebagai penikmat. Bisa jadi ini terjadi karena bising suara angin, atau disebabkan sound-nya yang kurang mendukung.
Selain musikalisasi puisi yang dibawakan Rico Rich dkk, dan vokal lirisnya Rinidiyanti Ayahbi yang memang enak di dengar di telinga.
Beberapa pembaca puisi memang selalu dinanti penampilannya, sebut saja Ical Vrigar dan Guntoro Sulung II. Kreasi Ilhamdi Sulaiman dengan sepeda mininya saat membaca sajak “Indonesiaku” karya Hamid Jabbar, dan dengan tong kosong saat membaca sajak “Jante Arkidam” karya Ajip Rosidi — telah membawa kesegaran tersendiri.
MUSIKALISASI PUISI
Sebagai penikmat pertunjukkan, salah satunya yang jadi andalan saya ialah musikalisasi puisi. Sound dengan kapasitas tinggi bisa jadi acuan untuk ruang terbuka.
Sajak “Luka”-nya Sutardji Calsoum Bachri tersaji dengan hikmat lantaran dilantunkan dengan suara yang juga hikmat, dengan lengkingan yang nyaris memukau pendengar.
Ada proses kreatif di sini – yang tentunya berbeda dengan saat Tardji membacakan sajak dimaksud.
Tardji dikenal bukan sekadar sajak-sajak mantranya, tapi juga penampilan baca sajaknya yang tanpa teks dan selalu membuat penonton terpana. Yang ingin saya sampaikan, jadilah diri sendiri dengan coba beradaptasi melalui larik sajak karya orang lain.
Sajak-sajak karya penyair ternama sangat banyak dan baik untuk dibacakan di atas panggung maupun di ruang-ruang terbuka. Namun, sajak-sajak yang sering dibacakan terkadang terasa membosankan serta menjenuhkan untuk didengar.
Di even Senja Berpuisi, panitia memberi kelonggaran melalui musikalisasi, visualisasi maupun teater puisi. Visualisasi tari maupun pantomim akan mampu beradaptasi dengan sebuah sajak jika saja melalui proses dan konsep yang matang.
Gestur tubuh adakalanya kurang memberi makna ketika sebuah karya masuk melalui musik atau pun audio visual. Seolah-olah tari/ pantomim bermain dengan kreasinya sendiri, sementara musik terus bermain dengan relaksasi total.
Seperti juga pembaca sajak Chairil Anwar ataupun pembaca sajak Rendra. Umumnya pembaca lebih fokus dengan nuansa baca sajak yang dihadirkan di youtube atau pun di pentas lain. Yang dilihat dan didengar penonton bukanlah si penampil, tapi sekadar ucapan, “Ohh… itu sajak si Anu yang dibacakan.” Tanpa bisa fokus ke yang tampil. Contoh-contoh ini bagian dari yang saya amati selama hampir enam bulan, tentunya diluar Senja Berpuisi.
Setiap komunitas yang tampil pasti punya kelebihan. Nah, kelebihan ini yang saya sebut sebagai aura-nya komunitas. Teater Mini Kata dan Bengkel Sastra memiliki seorang kharismatik; yakni Rendra. Kenduri Cinta memiliki seorang Kyai merangkap Budayawan; Emha Ainun Nadjib.
Namun, banyak juga seniman yang tampil solo dan selalu berkreasi saat di atas panggung, di antaranya Sutardji Calsoum Bachri, Taufik Ismail, Hamid Jabbar, Leon Agusta dan Yudhistira Ardhi Nugraha.
Akan halnya di Senja Berpuisi. Kolam Jiwa makin hidup dengan permainan gitar dan suara nge-basnya Rico Rich, juga Rinidiyanti Ayahbi. Zam Mime mengandalkan Empang Grup, dan Kukuh Enterprize mengandalkan permainan sexofonnya.
Untuk penampil pembaca sajak tunggal, panitia sedang mengamati siapa-siapa saja yang kelak tampil dikemudian hari.
Selain para deklamator yang sering menjuarai lomba baca puisi, tentulah terngiang nama-nama asing yang juga pernah menjuarai lomba baca puisi di even Seabad Chairil Anwar, Piala HB Jassin dan yang diselenggarakan kantong-kantong budaya. Dilain sisi, bisa juga tampil sastrawan secara talk-show melalui Petang di Taman (sub bagian Senja Berpuisi). Yang jadi pertanyaan, cukup kah anggaran untuk itu?
MENONTON LOMBA BACA PUISI
Menafsirkan Senja Berpuisi pada akhirnya seperti menonton lomba baca puisi. Lagi-lagi penonton mesti memasuki nuansa sajak-sajak penyair yang sudah malang-melintang, umpamanya membaca ulang sajak penyair Chairil Anwar, Rendra, Hamid Jabbar dan sebagainya.
Apresiasi terhadap sajak-sajak yang lahir pasca periodisasi 60-an dan 70-an belum tampak kepermukaan. Sajak-sajak karya Afrisal Malna, Joko Pinurbo, Kriapur, Eka Budianta, Ahmadun Yossy Herfanda serta sajak-sajak pemenang Buku Terbaik, belum tersentuh full.
Penonton Senja Berpuisi agaknya belum konsens dengan garapan seni tradisi. Padahal seni tradisional Minangkabau, “Randai” yang menggabungkan seni lagu, musik, tari, drama serta silat sangat indah untuk ditonton, sebagaimana diperagakan di Senja Berpuisi tanggal 11 September 2022.
Juga sebagai contoh tarian warisan tanah leluhur Rote yang dimainkan saat peluncuran buku mini biografi karya Fanny Jonathans di ruang indoor PDS HB Jassin. Musik gambang kromong dan Tanjidor Betawi, tarian tradisional khas Sunda, Jaipong dan lainnya – belum tampak hadir di ruang out door selasar PDS HB Jassin.
Komunitas agaknya masih asik menyenandungkan syair-syair dengan lirik penyair ternama. Ini gejala apa? Padahal buku sastra-puisi terbit ratusan buku setiap tahunnya. Puisi-puisi terus mengalir di akun face book, instagram dan youtube.
datang silaturahmi, dihibur lagu
pulang ke rumah dapat ilmu
SENJA BERPUISI MAKIN PUNYA AURA
di Senja Berpuisi episode-5 yang berlangsung hari sabtu, 17 September 2022. Audience stagnan di sekitar lokasi selasar.
Ini menandakan Senja Berpuisi makin punya aura. Suport bukan saja datang dari komunitas ke komunitas. Akan tetapi juga suport datang dari lapisan masyarakat yang nota bene butuh sebuah hiburan.
Terobosan yang dijalankan panitia dan dibantu kru PDS HB Jassin serta komunitas melalui jejaring face book, grup whatshapp maupun yang terpublish di face book dan di instagram memperlihatkan adanya kerja sama. Sinergitas ini salah satu point penting dalam memajukan kesenian.
Sebagian penonton menyimak dengan sungguh saat Leolintang Anies Munfarida asal Depok beserta grup tarian yang diasuhnya – mempertunjukkan seni baca puisi, tari disertai melukis di atas level menggunakan kanvas dan bingkai.
Dengan durasi sekitar 10-15 menit tampak lukisan ekspresionisme. Saya seperti melihat ada mantra-mantra saat Leolintang memanfaatkan cat minyak yang ditaburkan dari telapak tangannya ke arah kanvas.
Baca puisi Herman Sahara makin kelihatan kreasinya, saat ia begitu khusyk membaca puisi karyanya berjudul “Seumpama Kau Mery Jane Vieta Velosa. Lembaran foto copy close up Mery Jane yang disambung benang sekitar 3 meter di depan level termasuk bagian dari kreasi dan kerja kreatif seorang Herman.
Beberapa penampil lain masih tampak bersahaya dan garang saat baca puisi. Guntoro Sulung II membaca “Kupanggil Namamu” karya WS Rendra. Untung Hadi M.Arh dan Ginanjar “Empat Sekawan” masih tetap solid dengan semangat membaca puisinya.
Kukuh Enterprise yang dikomandani Kemalsyah semestinya mampu menghadirkan proses kreatif dengan naskah kearifan lokal, misal musik daerah asal Minangkabau maupun asal Sunda yang memiliki kultur dan etnis sangat indah.
Atau, membacakan sajak-sajak beberapa penyair dengan nuansa kedaerahan, baik karya Ajip Rosidi, Ibrahim Sattah maupun para penyair asal Sumatera Barat. Sayangnya audio visual sebagai latar dan sexofon yang dimainkan Frans tidak dimanfaatkan secara optimal.
Penonton dalam beberapa menit memang terhibur ketika komunitas ini menyanyikan lagu “Baby Blue”, dilanjutkan musik dance, mengajak beberapa audience untuk ikut berdansa. Kostum serta style yang kebaratan, justru terkesan borjuis. Ciri khas borjuis ialah sebuah kelas sosial dari orang-orang yang dicirikan oleh kepemilikan modal dan perbedaan sosial.
Kehadiran Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calsoum Bachri di antara para penonton benar-benar membuat surprise. Panitia wajib mengapresiasi kehadiran SCB di pentas Senja Berpuisi. Selama sekitar 10 menit ia berorasi.
Bernostalgia di lokasi sekitar selasar tempatnya semula sebagai warga sastra di kawasan TIM. Beliau mengingatkan kembali kepada generasi milenial teks Sumpah Pemuda, dan pengaruh teks dimaksud dalam perkembangan perpuisian Indonesia.
Dua puisi yang disuguhkan SCB, di antaranya puisi berjudul “Tapi” masih terasa aura seorang penyair mantra yang juga pembaca puisi terbaik yang dimiliki Indonesia, meskipun usianya 81 tahun. (**/BERSAMBUNG).
Penulis : Nanang R Supriyatin
Editor : Pulo Lasman Simanjuntak