Jakarta,BeritaRayaOnline,-Kriminolog Ronny Rahman Nitibaskara mengatakan polisi yang menjadi pelaku pembunuhan di Melawi tidak bisa dipidanakan. Menurutnya, jika memang polisi tersebut setelah diperiksa oleh psikiatri, kemudian terbukti sering berhalusinasi dan menderita schizophrenia, maka pelaku tidak bisa dipidana.
“Hal tersebut sesuai dengan pasal 44 KUHP,” kata Ronny saat dihubungi Tempo.Co di Jakarta, Sabtu, 28 Februari 2016.
Menurut Ronny, Brigadir Petros Bakus, pelaku mutilasi, tidak bisa dipidana lantaran ia diduga menderita sakit atau akalnya terganggu. Untuk itu, Petros harus berada di bawah pengawasan ketat. “Tentu untuk sementara dia harus ditahan dulu,” kata Ronny.
Pada Jumat dini hari,Petrus membunuh kedua anaknya berinisial FN, 4 tahun, dan AA, 3 tahun, di dalam kamar di Kabupaten Melawi Kalimantan Barat. Pria yang diduga sakit jiwa itu kemudian memutilasi anak kandungnya tersebut. Pelaku diduga sering mengalami kesurupan sejak kecil dan terus berulang hingga saat ini.
Bahkan Petrus juga sempat akan membunuh istrinya setelah dua anaknya tewas. Petrus mendatangi istrinya dan bilang telah membunuh kedua anak mereka. Selanjutnya, dia akan membunuh istrinya, Windri.
Namun sang istri berhasil kabur setelah mengecoh Petrus. Windri meminta Petrus mengambilkan air minum karena ia merasa sangat haus. Saat suaminya mengambil air itulah Windri lari ke rumah tetangganya.
Dia berlari meminta pertolongan ke rumah Brigadir Sukadi. Mendapati kejadian itu, Sukadi mengajak Windri masuk rumah dan mengunci pintu. Tak lama kemudian, Petrus keluar dari rumahnya dan menyerahkan diri.
Kejadian Memilukan
Kejadian memilukan ketika publik tahu begitu teganya polisi mutilasi anak kandung sendiri. Brigadir Petrus sang polisi mutilasi anak kandungnya berumur 5 dan 3 tahun terjadi di Melawi, Kalimantan Barat, Jumat (26/02/2016) dini hari waktu setempat.
Istri polisi mutilasi anak, Windri dalam kondisi yang sangat drop. Hal itu terlihat saat pemakaman kedua anaknya di pekuburan muslim, Jalan Tengah, Gang Tapang, Desa Pal, Kecamatan Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, Jumat malam sekitar pukul 23.00 Wita.
Korban pembunuhan dan mutilasi anggota polisi Brigadir Petrus Bakus di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, dikebumikan Jumat malam, 26 Februari 2016, pukul 23.00 WIB, di pemakaman Jalan Tengah, Gang Tapang, Desa Pal, Kecamatan Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi.
Mereka adalah Fabian (5) dan Amora (3), dua anak kandung Petrus dan istrinya, Windri. Dua bersaudara ini di kubur dalam satu liang lahad.
“Jam 11 malam dikuburkannya. Kakak beradik. Banyak anggota polisi datang ke sini. Ada juga sejumlah pejabat Pemkab Melawi,” ujar Sukardi, warga yang tinggal di sekitar pemakaman, Sabtu 27 Februari 2016.
Kepala Sub Bagian Pengendali Personel Psikologi Polda Kalbar Ajun Komisaris Teguh Purwo Nugroho mengatakan saat di pemakaman Windri istri Brigadir Petrus menyanyikan lagu pelangi-pelangi saat kedua anak mutilasi di kebumikan
“Pas pemakaman, istrinya menyanyikan lagu ‘Pelangi-pelangi’. Karena kebiasaan istrinya menidurkan anaknya menyanyikan lagu ‘Pelangi-pelangi’. Kondisi psikologi istrinya drop,” ucap Kepala Sub Bagian Pengendali Personel Psikologi Polda Kalbar Ajun Komisaris Teguh Purwo Nugroho, Sabtu (27/2/2016) seperti dikutip dari Liputan 6.com.
Kasus ini kini tengah ditangani oleh Polda Kalimantan Barat. Sementara itu Petrus juga telah ditahan di Polres Melawi untuk dimintai keterangan atas tindakan kejinya tersebut, termasuk diantaranya pemeriksaan kejiwaan.
Namun menurut polisi, Petrus seperti tampak bingung saat menyaksikan berita di televisi yang memperlihatkan dirinya.
“Dia bilang, ‘Saya capek mendengarnya. Saya mendengar informasi dari televisi…Saya capek mendengarnya.’ Dia masih terngiang-ngiang yang dilakukannya,” ujar Teguh.
Terancam hukuman mati
Atas tindakan kejinya tersebut, Brigadir Petrus Bakus dijerat dengan pasal berlapis. Yaitu, Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana subsidair Pasal 338 atau pasal pembunuhan. Pasal lainnya yang menjerat Bakus adalah Pasal 80 ayat 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan Pasal 44 ayat 3 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Bukan main, pelaku bisa diancam dengan hukuman mati. “Sanksinya hukuman mati, seumur hidup, atau paling sedikit 20 tahun penjara,” kata Kepala Bidang Humas Polda Kalimantan Barat Ajun Komisaris Besar Arianto.
(tempo.co/sapujagat.com/nelson k/walter/las)
sumber foto : sapujagat.com