Spread the love
Kepala Biro Humas dan IP Kementerian Pertanian Agung Hendardi (Foto: Lasman Simanjuntak/BeritaRayaOnline)
Kepala Biro Humas dan IP Kementerian Pertanian Agung Hendriadi (Foto: Lasman Simanjuntak/BeritaRayaOnline)

Jakarta,BeritaRayaOnline,-Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) yang dalam beberapa bulan terakhir ini dirilis BPS menurun selalu menjadi polemik dalam beberapa diskusi dan media seakan melupakan beberapa upaya khusus Pemerintah untuk mengangkat kesejahteraan Petani.

Angka Nilai Tukar Petani (NTP) yang dikeluarkan BPS mulai bulan November 2015 sebesar 102,95 dan terakhir bulan Maret 2016 sebesar 101,32 selalu diulas dan dijadikan instrumen untuk menghakimi tingkat kesejahteraan petani yang menurun. Fakta dan pemahaman bahwa NTP adalah hanya salah

satu indikator kesejahteraan petani yang mempunyai banyak kelemahan kurang dipahami dengan baik oleh para pengkaji.

Pasalnya, NTP yang dihitung dari rasio indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayarkan petani, yang mencakup seluruh pengeluaran rumah tangga petani termasuk biaya produksi, sekolah, berobat, membeli sandang, papan dan lainnya sehingga tidak mencerminkan pengeluaran riil dari usahanya.

Sebagai respon atas kelemahan NTP, maka digunakan juga indikator Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) yaitu rasio indeks harga yang diterima petani dari usaha pertanian dengan indeks harga yang dibayarkan petani untuk pengeluaran usaha pertanian.Ā  NTP dan NTUP di atas 100 menunjukkan petani surplus, sama dengan 100 berarti impas dan di bawah 100 berarti petani rugi/defisit.

Mengingat indeks harga berfluktuasi secara harian dan bulanan, maka untuk melihat kemampuan daya beli petani/tingkat kesejahteraan semestinya tidak hanya membandingkan nilai NTP dan NTUP dalam kurun waktu sesaat saja (bulanan), melainkan dihitung rerata dalam waktu lebih panjang (tahunan).

Menganalisis kesejahteraan petani dalam kurun waktu pendek akan menyesatkan karena bisa terjadi bulan ini petani dianggap tidak sejahtera karena NTP dan NTUP turun dan bulan depan berubah drastis menjadi sejahtera karena NTP dan NTUP naik. Oleh karena itu, analisis NTP dan NTUP sebaiknya minimal satu musim tanam untuk petani tanaman semusim dan dan tahunan untuk petani tanaman tahunan.

Data BPS menyebutkan NTUP tahun 2015 sebesar 107,44 lebih tinggi dibandingkan 2014 sebesar 106,04. Bila dirinci menurut subsektor, NTUP tanaman pangan, hortikultura, maupun peternakan 2015 lebih tinggi dibandingkan 2014. Demikian juga indikator NTP tanaman pangan 2015 sebesar 100,37 lebih tinggi dibandingkan 2014 sebesar 98,89 dan NTP peternakan 107,40 lebih tinggi dibandingkan 2014 sebesar 106,65.

Sedangkan subsektor perkebunan yang sebagian besar komoditas orientasi ekspor, nilai NTP dan NTUP nya dipengaruhi oleh harga komoditas tesebut di pasar dunia dan akibat krisis global.

Hal penting yang harus juga dipertimbangkan dan tidak bisa diabaikan adalah bahwa sejak awal tahun 2015 Pemerintah telah meluncurkan program upaya khusus hulu hilir untuk pencapaian kedaulatan pangan dan peningkatan kesejahteraan petani, yang tentunya signifikan berpengaruh terhadap turunnya indeks yang harus dibayar petani.

Pada sisi hulu, upaya khusus Pemerintah tersebut meliputi perbaikan infratsruktur khususnya jaringan irigasi, subsidi pupuk dan bantuan benih melalui program optimasi lahan, serta bantuan alat dan mesin pertanian pra dan pasca panen yang semuanya harus diperhitungkan akan mengurangi ongkos yang harus dibayar petani.

Fakta menunjukkan bahwa, berbagai bantuan tersebut berpengruh langsung terhadap peningkatan produktivitas dan produksi usaha tani dan tentu ini juga harus diperhitungkan sebagai pendapatan tambahan petani. Dibandingkan tahun 2014, pada tahun 2015 roduksi padi meningkat 6.37% dari 70 juta ton menjadi 75,38 juta ton, produki jagungmeningkat 3,17% dari 19 juta ton menjadi 19,6 juta ton, dan kedelai meningkat 0,87% dari 905 ribu ton menjadi 963 ribu ton.

Disamping itu, terkait dengan pemanfaatan bantuan alat dan mesin pertanian, secara objektifĀ  perlu juga diperhitungkan dalam menganalisis NTP. Fakta menunjukkan bahwa penggunaan alsintan bantuan Pemerintah mulai dari traktor, transplanter dan combine harvester 60.000 unit di tahun 2015 dan akan 100.000 unit pada tahun 2016 akan berpengaruh signifikan pada penurunan ongkos tenaga kerja mencapai 30%. Yang tentu ini akan berpengaruh terhadap indeks yang harus dibayar petani dalam perhitungan NTP maupun NTUP.

Pada sisi hilir, upaya ekstra Kementan bersama Bulog dalam operasi serap gabah petani (Sergap) untuk mengendalikan harga jual gabah petani dan harga beras di tingkat konsumen sesuai HPP, yaitu Rp. 3700/kg gabah kering panen dan Rp. 7300,-/kg beras perlu juga dipertimbangkan dalam menganalisis NTP maupun NTUP.

Disamping ditujukan untuk stabilitas harga pembelian gabah sesuai HPP dan menjamin stok yang mencukupi di Bulog, Operasi Sergap ini juga ditujukan untuk memotong rantai pasok dari gabah ke beras yang telalu panjang yang mengakibatkan disparitas harga gabah ke beras yang cenderung melebar. Rantai pasok gabah ke beras yang semula mengalir pada 9 level, melalui operasi sergap ini menjadi hanya 3 level. Dengan cara ini, diyakini bahwa harga beras di tingkat konsumenpun dapat dikendalikan pada harga sesuai HPP beras yaitu Rp. 7300,-/kg.

Dengan kata lain, melalui operasi ini, disamping stok terjamin, petani dan konsumen mendapatkan harga yang wajar. Hasil dari upaya ini, stok di Bulog hari ini mencapai 2 juta ton, harga pembelian gabah di tingkat petani di beberapa Kabupaten terkendali pada kisaran Rp 3500 – Rp. 3700/kg gabah kering panen, serta harga beras di tingkat konsumen berkisar Rp. 7500/kg. Upaya pada sisi hilir ini tentu juga harus diakui akan berpengaruh signifikan terhadap naiknya indeks yang harus diterima oleh petani sebagai produsen dan indeks yang harus dibayar petani sebagai konsumen.

Upaya pengendalian harga pssar diatas tidak hanya untuk komoditas padi, tetapi juga pada komoditas lainnya seperti bawang, cabe melalui perbaikan manajemen waktu dan lokasi tanam, serta operasi pasar. Sapi, melalui pemangkasan rantai pasok dengan introduksi kapal ternak yang mampu menekan harga daging ditingkat konsumen kurang dari Rp. 85.000,-/kg dengan tanpa menurunkan harga sapi ditingkat peternak.

Segala upaya khusus untuk pencapaian kedaulatan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani diatas adalah tidak bersifat generik, dimana hasilnya belum bisa dirasakan saat itu juga, namunakan terjadi dampak akumulatif yang akan terasakan minimal dalam kurun waktu satu musim tanam. Akanlah sangat bijak bila kajian NTP maupun NTUP basisnya tidak bulanan, tapi minimal satu musim tanam atau dalam satuan tahun.

(**/Agung Hendriadi, Kepala Biro Humas Inforormasi Publik, Kementan)

 

Tinggalkan Balasan