
Dengan adanya impor, harga yang diinginkan pemerintah untuk beras yaitu Rp 9.500 per kg dan bawang merah Rp 25.000 per kg. Untuk mencapai ini, bawang merah akan diimpor 2.500 ton hingga 5.000 ton sedangkan untuk beras, Bulog sudah mengimpor per Februari 2016 sebanyak 900.000 ton dan total hingga Oktober sebanyak 1,5 juta ton dari Vietnam dan Thailand.
Namun, Direktur Kajian Pangan dan Ekonomi Kerakyatan, Nawacita Watch, Tenri Ajeng menilai apabila kebijakan impor ini diimplementasikan untuk memenuhi kebutuhan selama Ramadhan hingga Lebaran, pemerintah dianggap mengambil kebijakan yang tergesa-gesa yang berpotensi tidak dipercaya rakyat di tengah pasokan yang melimpah. Sebab, beras baru saja melewati masa panen dan bawang sedang memasuki panen raya di bulan Juni-Juli.
Kedua, kata Tenri, pertanda selama ini Bulog gagal menjalankan fungsinya sebagai lembaga stabilisator stok dan harga pangan. Bulog hanya terlihat sebagai lembaga yang dominan menjalankan fungsi komersial yakni pencari keuntungan atau pemburu rente.
“Ini menguatkan Bulog mempunyai jaring laba-laba distribusi sehingga pasokan tidak langsung sampai ke pasar. Inilah yang menyebabkan stok dimainkan sehingga harga pangan tinggi,” kata Tenri saat diskusi bertajuk Membedah Optimalisisa Peran Bulog Sebagai Stabilitas Pasok dan Harga Pangan di Jakarta, Selasa (7/6/2016).
Ketiga, langkah Bulog dengan mudah menjalankan posisinya sebagai operator akan mendeskreditkan petani yang merupakan ujung tombak untuk mengoptimalkan fungsinya. Dengan begitu, petani akan semakin termiskinkan secara sistemik.
“Keempat, dengan surplus kedua komoditas ini, Bulog lebih merasionalisasi kepentingan pelaku usaha pencari keuntungan. Harusnya Bulog dengan segala persiapan infrastruktur sudah siap menampung surplus dan mendistribusikan stok bawang yang ada di gudang 1,2 juta ton dan beras 2 juta ton sehingga petani tidak merugi dan konsumen tidak terbebani biaya pangan yang mahal,” jelasnya.
Sehubungan dengan ini, apabila Bulog dapat menjalankan fungsi secara optimal dalam mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan, Tenri mengusulkan agar Bulog harus menginventarisir problematika yang ada pada mata rantai produksi-sirkulasi-konsumsi. Ketiga mata rantai ini tidak boleh disikapi secara parsial, sehingga Bulog mampu membuatkan skema pengadaan stok dan stabilisasi harga ketika terjadi kelangkaan dan surplus pangan.
“Sehingga ketika terjadi surplus namun harga melonjak, itu bermasalah pada rantai distribusi yang terlalu panjang dan Bulog tidak menjalankan sepenuhnya mata rantai produksi-sirkulasi-konsumsi,” tuturnya.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, stok beras dan bawang merah selama bulan Ramadhan hingga Lebaran melebihi kebutuhan. Stok beras tersebut mencapai 7.417.487 ton sedangkan kebutuhan hanya 5.626.400 ton, sehingga diperoleh surplusnya sebesar 1.791.087 ton. Untuk bawang merah, stoknya 251.513 ton dan kebutuhan hanya 175.642 ton sehingga surplusnya mencapai 75.871 ton.
Sementara itu, pada kesempatan yang berbeda, Ketua Umum KTNA Nasional, Winarno Tohir mengungkapkan tingginya harga pangan akibat tingginya biaya distribusi yang mencapai 21 persen.
Menurutnya ini mencerminkan belum efisiennya sistem distribusi. Ini berdampak pada gagalnya capaian produksi yang melimpah dan berulangnya carut marut stok dan harga pada setiap tradisi Ramadhan.
“Sedangkan untuk impor agar hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa saja. Sebab petani menginginkan harga stabil dan petani pun perlu mendapat jaminan harga,” pungkas Winarno.(**/siaran pers/irman syahlan/tentri ajeng)
Editor : Pulo Lasman Simanjuntak