Jakarta,BeritaRayaOnline,-Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK), dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) terus melaju menjalin keharmonisasian untuk kepentingan petani khususnya dalam menjamin kebutuhan air irigasi.
Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Infrastruktur, Ani Andayani mengungkapkan keharmonisasian ini ditandai dengan Kementan melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) memulai kegiatan investigasi dan design pengelolaan sistem irigasi di lahan tadah hujan, lahan dengan irigasi sederhana dan lahan kering yang telah ditetapkan fokus di lahan seluas 4 juta hektar di seluruh Indonesia.
“Menteri Pertanian telah menginstruksikannya pada sebuah pertemuan khusus agar segera dilaksanakan gerakan nasional tentang panen air ini dan siap sediakan dana sekitar 10 trilyun pada tahun 2016,” Ungkap Ani Andayani.
Menurutnya, kegiatan investigasi dan design dilaksanakan Balitbangtan dan implementasinya oleh Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. Kegiatan ini diharapkan menjadi design masukan bagi Master Plan irigasi yang sedang disusun Kemen PUPR.
Dalam FGD yang berlangsung di Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk-Cisanggarung di Cirebon pada 26 hingga 27 Mei 2016, Ani menjelaskan salah satu hasil singkat kunjungan kerja mendampingi GKSB (Grup Kerja Sama Bilateral) Tunisia DPR RI. Yaitu di Tunisia pun diketahui distribusi air dan pemanfaatannya dikerjasamakan antara Direktorat Jenderal Pertanian, Direktorat Jenderal Sumberdaya Air dengan Direktorat Jenderal Arsitek Pedesaan dan Perkotaan.
“Air irigasi bagi pertanian di sana yang relatif lebih sulit didapat karena air tanah dalam saja baru bisa didapat dari 3000 m kedalaman, airnya dapat termanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan efektif di mana Tunisia kita kenal sebagai eksportir kurma dan olive oil dunia,” ujar Ani.
Untuk itu, lanjut Ani, Kata “harmonisasi” ini seperti halnya di Tunisia, menjadi inspirasi kita supaya melibatkan juga Pemerintah Daerah (Pemda) secara aktif agar pemanfaatan air irigasi di tingkat lapangan menjadi semakin mantap. Kementan berinisiatif mengawalinya dengan merancang ada Gerakan Nasional untuk pengelolaan irigasi ini.
“Seyogyanya, harus didorong dan didukung kuat oleh pihak terkaitnya terutama mulai dari hulunya oleh Kemen LHK, master plan nya oleh Kemen PUPR dan destinasi akhir di petani oleh kementan bekerja sama dengan Pemda setempat,” kata Ani.
Model ini merupakan sebuah investasi jangka panjang sehingga parasarana irigasi merupakan aset atau modal bagi petani mencapai swasembada pangan berkelanjutan tidak terhenti hanya karena adanya program saja.
Untuk tercapainya sebuah keberlanjutannya, menurut Ani, kegiatan Training of Trainer (TOT), pelatihan, sosialisasi, pengawalan dan pendampingan menjadi penting dan strategis termasuk perihal MRO nya yakni maintenance (pemeliharaan), repair (perbaikan) dan overhaul (penggantian sebuah alat atau bahan yg malfungsi) agar aset tersebut bisa tetap efektif.
Tenaga Ahli Menteri Pertanian bidang Infrastruktur, Budi Indra Setiawan menambahkan penyebab turunnya kinerja irigasi selama ini terkait antara lain adalah langkanya air akibat tekanan kebutuhan penduduk yang terus meningkat serta terjadinya degradasi wilayah tangkapan air di bagian hulu disamping sistem operasi dan pemeliharaan irigasi yg kurang baik.
Di samping itu, pengelolaan model lama yang dilakukan lembaga pemerintah secara parsial berdasarkan tugas pokok dan fungsi lembaga masing-masing terbukti kurang efektif dalam mengatasi masalah irigasi ini. Kemen PUPR sebagai pengelola irigasi di level primer dan sekunder sering dalam prakteknya tidak selaras dgn level tersier yang menjadi tanggung jawab pertanian.
Menurut Budi, hal ini disebabkan karena kegagalan dalam mengembangkan kelembagaan pengelolaan air irigasi partisipatif disampingnya dana yang terbatas untuk operasional dan pemeliharaannya. Oleh karena itu ke depan, selain harus terintegrasi antar lembaga pemerintah, penanganan irigasi harus melibatkan seluruh stakeholder terkait secara efisien dan terpadu dalam suatu bentuk harmonisasi sistem irigasi bagi swasembada pangan berkelanjutan.
Sementara itu, Kepala Balitbangtan, Muhammad Syakir menyampaikan sampai saat ini Balitbangtan telah melakukan kajian-kajian terkait dengan pemanfaatan sumberdaya air untuk meningkatkan produktivitas lahan, namun hasil yang diperoleh belum dapat diimplementasikan secara masif pada skala nasional.
“Oleh karena itu perlu sinergi dan keterpaduan program antar Kementerian LHK, Kemen PUPR dan Kementan. Saya yakin melalui sinergitas program ini kita tidak perlu bekerja dari nol,” ujar Syakir.
Syakir menambahkan dalam waktu dekat Badan Litbang Pertanian akan melakukan investigasi dan desain paket teknologi pengelolaan air pada lahan sawah tadah hujan di wilayah topografi bergelombang-berbukit yang akan menjadi dasar bagi Direktorat Jenderal teknis dalam mengimplementasikannya pada skala nasional di lapangan pada luasan areal 4 juta hektar sehingga akan tumbuh titik pertumbuhan baru sentra produksi pertanian lainnya selain tanaman pangan.
“Upaya ini perlu didukung oleh sumber daya manusia yang mempunyai keterampilan dan kecakapan dalam menunaikan tugas di lapangan disertai pengetahuan dalam identifikasi lokasi implementasi teknologi pengelolaan air lahan sawah IP 100 melalui TOT yang dilanjutkan dengan pelatihan para petugas di daerah sampai level kabupaten,” tutur Syakir.(**/siaran pers humas dan ip kementerian pertanian/lasman simanjuntak)