Spread the love

20160413_09194720160413_091541Jakarta,BeritaRayaOnline,-“keluarga yang memiliki anak dengan spektrum autisme mengalami berbagai penyesuaian dalam kehidupannya, mulai dari tingginya biaya yang dibutuhkan untuk perawatan dan tidak mudah mendapatkan tempat pendidikan yang sesuai, ” ujar Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan dr.H.M.Subuh, MPPM, saat membuka lokakarya dalam rangka Hari Autisme Sedunia 2016 dengan tema ” Meningkatkan Kualitas Hidup  Individu dengan Gangguan  Spektrum Autisme (GSA)” di Jakarta, Rabu (13/4/2016).

Menurutnya, pemberian pemahaman kepada masyarakat melalui pendekatan keluarga agar dapat mengenali  dan mendeteksi anak dengan gangguan spektrum autisme sedini mungkin menjadi salah satu tantanganyang besar. Hal ini sebenarnya bertujuan agar individu dengan spektrum autisme dapat memperoleh dukungan  dan haknya untuk mendapatkan penanganan khusus yang dibutuhkan dengan sebaik-baiknya.

“Sehingga diharapkan mampu meningkatkan kualitas hidupnya dikemudian hari, diterima dan diapresiasi di lingkungannya,” ucapnya.

Individu dengan GSA merupakan salah satu dari ima jenis gangguan perkembangan  pervasif atau pervasive development disorder. Tidak mendengar atau memandang  mata saat diajak berkomunikasi merupakan tanda pengenal disamping variasi gejala lain, seperti komunikasi yang sulit dimengerti, emosi yang tak stabil dan perilaku yang tak biasa. Tanda-tanda tersebut menyebabkan disabilitas dalam bersosialisasi dan fungsi aktivitas harian.

“Kadang pengisolasian menjadi jalan pintas keluarga ketika sudah merasa putus asa tidak menemukan akses pelayanan yang dapat menangani emosi dan perilakunya yang tak terkontrol,” kata dr.H.M.Subuh.

Pada kesempatan tersebut dr.H.M.Subuh menyampaikan pesan kepada masyarakat , jajaran pemerintahan, instansi pendidikan, kesehatan, serta lembaga swadaya masyarakat yang terkait untuk dapat memberikan dukungankepada saudara kita, individu dengan autisme sehingga bisa meningkatkan kualitas hidupnya melalui beberapa pendekatan antara lain penghapusan stigma dan diskriminasi terhadap individu dengan GSA, pendataan serta sosialisasi ke fasilitas pelayanan yang tersedia bagi individu dengan GSA, serta  memberikan kesempatan baik dalam pelayanan kesehatan, rehabilitasi, maupun fasilitas pendidikan dan pelatihan kerja.

Selain itu peningkatan jumlah tenaga ahli dalam penanganan autisme seperti tenaga terapis bicara, psikiater, serta psikologis anak, dan tenaga profesional lainnya baik melalui memperbanyak pelatihan maupun jalur pendidikan formal, serta pendekatan kepada keluarga individu dengan GSA agar bisa meningkatkan pengetahuan mengenai GSA, jenis-jenis penanganan yang dapat dilakukan , serta metoda terbaru pengasuhan autisme baik dengan banyak membaca maupun mengikuti seminar dan lokakarya terkait.

Sementara itu Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA, Dr.dr.Fidiansjah mengatakan bahwa di dalam masyarakat terdapat sekelompok anak yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya yaitu anak-anan dengan kebutuhan khusus yang disebut anak dengan gangguan spektrum autistik (GSA) atau lebih sering disebut anak autisme.

“Saat ini di Indonesia belum ada data dan belum diketahui penyebabnya. Namun, individu dengan gangguan spektrum autism ini diperkirakan sudah semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari angka kunjungan di rumah sakit umum, rumah sakit jiwa pada klinik tumbuh kembang anak yang cukup bermakna dari tahun ke tahun. Walaupun belum ada data statistik, jumlah penyandang autisme yang ditangani dokter maupun psikolog makin meningkat, sehingga beberapa pasien harus menunggu beberapa bulan untuk mendapat giliran pemeriksaan,” katanya.

Data dari salah satu pelayanan kesehatan jiwa anak RS Jiwa Dr.Soeharto Heerdjan Jakarta, pada 2013 terdata 15 % dari 6.600 kasus adalah anak dengan gangguan autisme.

“Sosialisasi informasi tentang autisme yang benar diperlukan sehingga tidak lagi dijumpai anak autistik yang didiskriminasi,” tegas dr.Firdiansjah.

(lasman simanjuntak)

Tinggalkan Balasan