Spread the love

Jakarta, BeritaRayaOnline,-“Rawa Subur seakan memanggil-manggil masa silam saya.Terutama semasa kanak-kanak, remaja, dan dewasa.Saya meninggalkan di mana saya dilahirkan itu ketika berumah tangga.Namun, orangtua dan adik-adik masih di situ.Jadi saya masih kerap menyinggahi Rawa Subur.Terkadang bercengkerama dengan kawan-kawan remaja, teman yang dulu bersama memalak penjual mie atau sate diwaktu begadang.Sebagian ingatan dan kenangan itu ada dalam puisi-puisi saya KETIKA AKU PULANG ini,” cerita Isbedy Stiawan ZS, Paus Sastra Lampung.

Hal itu dikatakannya tentang proses kreatif untuk Buku Antologi Puisi KETIKA AKU PULANG pada acara Forum Diskusi Sastra MEJA PANJANG di lantai 5 Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB.Jassin, Gedung Ali Sadikin, Pusat Kesenian Jakarta (PKJ), Taman Ismail Marzuki (TIM), Jumat siang (23/6/023)

Pada diskusi sastra MEJA PANJANG (tahap kedua) untuk membedah buku antologi puisi tunggal Isbedy Stiawan ZS yang digagas komunitas sastra Dapur Sastra Jakarta (DSJ) bersama Penyair Remmy Novaris DM, Nanang R Supriyatin, Giyanto Subagio, dan Sunu Warsono ini, tampil pula dua pembicara.

Penyair Sihar Ramses Simatupang(sebagai penelaah-red) dengan makalahnya berjudul “Isbedy, Pulang dan Rawa Subur” serta Penyair Arief Joko Wicaksono TR (sebagai pembanding-red) dengan makalah berjudul ” Puisi Otobiografi Paus Sastra Lampung, Isbedy Stiawan ZS (ZS= Zakirin Senet)”.

 

Menurut Isbedy Stiawan ZS-yang telah menerbitkan 40 buku antologi puisi tunggal-mengumpulkan lalu menyatukan dalam satu buku dengan tema PULANG, kenangan, dan ingatan kampung kelahiran bernama Rawa Subur dengan historigrafi, kultural, saat saya masih kanak-kanak sampai remaja, bukan hal mudah.

“Tentu masih banyak kenangan yang manis maupun pahit yang belum disentuh di dalam buku amtologi puisi KETIKA AKU PULANG,” ucapnya.

Sastrawan asal Lampung yang sudah berkelana dalam kancah sastra di seluruh Indonesia dan mancanegara diantaranya Belanda, Belgia, dan Thailand ini mengatakan biarlah yang tidak tersentuh kesempatan ini tetap sebagai misteri, rahasia saya dengan ingatan-ingatan tersebut.

Buku antologi puisi ini mendapat “kehormatan” tak ternilai, ketika Tatang Ramadhan Bouqie berkenan menyumbangkan lukisan untuk ilustrasi, dan bahkan digarap pula desain sampul.

“Sehingga bisa dilihat hasilnya, saya puas dan bangga.Seorang Tatang, saya menyapanya Kang Ramadhan yang dikenal perupa desain media lulusan ITB, dengan senang membantu saya berkolaborasi,” kilahnya.

Sementara itu Arief Joko Wicaksono TR berpendapat menyimak isi buku sajak KETIKA AKU PULANG , Isbedy, yang berisi sebelas sajak, dengan satu sajak bertajuk PULANG terentang menjadi 52 serial, dengan tema sentral di Desa Rawa Subur, tampak dia sedang membuat otobiografi puisi.

Kisah-kisah (yang ditulis) sendiri dari berbagai hal yang dihayati sejak masa ari-ari, masa kecil, masa remaja, dengan ada bersama lingkungan keluarga, ibu dan ayah, sanak keluarga, para warga beragam etnis, bertemu dalam berbagai peristiwa, rentang waktu, jalan usia, persepsi hidup, hingga maut tempat kembalinya insan nanti.

“Sajak PULANG adalah sajak terpanjang Isbedy, selama ini , setelah sebelumnya dia sempat menulis sajak dengan menggunakan nomor seri,” ucapnya.

“Sebagai penikmat sajak, saya merasa dalam KETIKA AKU PULANG, karya-karya yang berkaitan dengan ibu lebih terasa cair, tercurah untuk lebih dominan dorongan bercerita narasi demi menumpahkan kerinduan-kerinduan pada srata ibu yang berposisi mulia.Keprigelan penyair dalam menata metafora yang menyentuh terasa menipis.Ini beda takkala menulis ibu dalam buku MENAMPAR ANGIN, sajak SEPERTI WAJAH IBU , buku KOTA CAHAYA sajak SAAT AKU MENGERTI, buku ANJING DINI HARI pada MATA IBU SUNGAI BUNGSUKU,” kata Arief Joko Wicaksono yang merupakan tenaga pengajar di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) .

Namun, yang dilakukan Isbedy dengan otobiografi puisi mengenal desa kelahiran, pantas dicatat sebagai bagian variasi kreatif untuk membuka wilayah bagi jelajah inspirasi.

“Paling tidak, tak cyma tertuju pada zona desa, melainkan dapat untuk mengolah lebih total, lebih komprehensif pada sebuah kota , pada sebuah pulau, pada sebuah negara , dan pada sebuah benua.Dalam skope kecil ini , Isbedy melalui otobiografi diri bersama Raw Subur, Bandar Lampung, telah.memulai.Ayo, siapa lagi,” pungkasnya.

Sedangkan Penyair Sihar Ramses Simatupang mengatakan sesungguhnya buku antologi.puisi tunggal KETIKA AKU PULANG adalah tak hanya membaca awal dan rantau secara fisik, tetapi awal kelahiran secara spiritual keberadaannya oleh Sang Pencipta, Sang Khalik, Ilahiah adalah berbanding lurus dengan kepulangan.Dia tak membacanya dengan kepergian.

“Rawa Subur adalah analogi, metafora, adalah semiotik Isbedy untuk kembali ke tempat asal , keabadian sebelum kelahiran, keabadian juga setelah kematian.Dia siap menyerahkan hidupnya kepad pemilik hidul, Tuhan Yang Maha Esa yang pernah menciptakannya dan kembali akan memeluknya.Raw Subur adalah peta miniatur untuk membaca kehidupan dan yang ada untuk semesta yang lebih abadi, sakral, dan ilahiah,” ujarnya.

Isbedy nyaris sama, lanjut Sihar Ramses Simatupang, tetapi kalau jeli, dia mengakui bahwa dia adalah seorang yang lahir di tengah asimilasi kebudayaan.Di masyarakat yang juga sangat plural, Isbedy menyadari hal itu.

“Isbedy tak menggempur puisinya dengan kosakata lokal.Tak menggunakan bahasa daerah Lampung.Dia membentuk lokasinya sendiri dengan kata-kata yang semuanya hampir kita kenal dan mampu terjemahkan.Dia hanya memakai urutan kata, pilihan diksi,bunyi, dan tipologi, dengan elemen puitiknya untuk membangun Rawa Subur,” katanya.(**/Bro-2)

Editor :Lasman Simanjuntak

Tinggalkan Balasan