Spread the love

Jakarta, BeritaRayaOnline,- Jumat kemarin, 28 Juli 2023, komunitas sastra  Dapur Sastra Jakarta (DSJ)  menggelar Forum Diskusi MEJA PANJANG dengan tema Jakarta, Kita, dan Sastra.

Acara  bagus, mengimbangi meriahnya para penyair menulis dan membaca puisi, serta menerbitkan buku. Setidaknya, silang pandangan yang mengalir dari MEJA PANJANG  itu diharapkan dapat mendedahkan atmosfer sastra yang luas, dan menghadirkan percik-percik gagasan yang menghangatkan proses kreatif.

Pada Forum Diskusi MEJA PANJANG  yang pertama kali (Mei, 2023), tema bahasan ialah “Peranan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Tengah Perkembangan Komunitas Sastra”. Lalu berlanjut yang kedua (Juni 2023), membedah sosok Isbedy Stiawan Z.S, yang dikenal sebagai aktivis sastra di Lampung.

Yang ketiga, kemarin, pembicara ahli adalah Yahya Andi Saputra, tentang Betawi dalam Sastra Indonesia. Pembicara Pendamping, penyair Budhi Setyawan, soal Sastra Urban. Dan Pembicara Pembanding, saya sendiri, dengan tema Fenomena Sosial Kota dalam Sastra.

Berikut ini, catatan kecil yang  saya sampaikan pada forum diskusi tersebut. Catatan yang berangkat dari pikiran-pikiran yang menggaduhi kepala saya, tentang sebuah kota dengan fenomena sosialnya yang khas dan kaya-raya dengan kisah-kisah yang tak sempat dituliskan.

JAKARTA TAK SEMATA
PUISI TANPA KATA

Setiap kali melintasi jalan panjang Kasablanka, yang disebelahnya membujur Kanal Banjir Timur, pulang ke rumah saya di Pondok Kelapa, terutama kala dinihari yang sunyi, selalu saja sejumlah pertanyaan menggerunyam di kepala saya: Di manakah mereka semua yang pernah bermukim di tempat yang sudah menjadi jalan raya dan kanal yang terbentang dari timur ke barat itu?

Jalan Kasablanka adalah salah satu ruas jalan terpanjang di Jakarta, terbentang dari perbatasan Bekasi sampai ke kawasan Tanah Abang. Ada banyak kampung, dapur, ruang tamu, pasar, kebun, sekolah, rumah ibadah yang hilang, berikut hubungan persahabatan, tautan kekerabatan, kebiasaan, kenangan-kenangan, kemeriahan ribuan keluarga, dan himpunan manusia yang bermukim di sana.

Bukan hanya di perkampungan yang tergusur. Tapi juga suatu malam, ketika saya menyusur lorong sunyi sehabis hujan di tepi pekuburan Kober yang luas, dan memasuki labirin gang yang berkelok tajam: ke markas Teater Kubur di kawasan Kampung Melayu. Kisah-kisah apa yang terjadi di sana? Bagaimanakah tautan teater dan kubur? Mengapa mereka bisa bertahan sampai setengah abad di sana?

Atau, ketika blusukan ke pasar barang bekas, dengan aneka bentuk benda aneh dan tak aneh, di seberang stasiun kereta api Kebayoran Lama. Pertanyaan saya, siapakah dulu pemilik barang-barang itu? Seberapa hebatkah kenangan yang melekat di sana? Peristiwa apa pula yang membuat barang-barang itu terdampar di pasar yang berbau apak itu?

Atau, suatu hari, ketika menyesatkan diri di bilangan Pecinan, Glodok. Dengan harum dupa, jamur kering, yang bercampur dengan aroma daging babi panggang. Atau, suatu saat tatkala saya berjalan-jalan ke pelabuhan Sunda Kelapa, menyaksikan puluhan kapal-kapal yang sandar dan membayangkan benda-benda terapung itu mengarungi selat Jawa: yang terpikir oleh saya: Adakah orang Betawi yang menjadi pelaut? Seberapa dakhsyatkah pengalaman para pelaut tradisional yang bernyali itu?

Atau, ketika berziarah ke makam Chairil Anwar di pekuburan Karet Bivak yang amat luas, dengan puluhan ribu makam yang dikelilingi oleh bangunan pencakar langit, kontras dunia yang sibuk dan dunia yang hening, membaca nama-nama mereka yang berdiam bersama cacing dan jengkerik di sana, nama-nama yang mengisyaratkan asal-usul yang tidak semua Betawi.

Begitu pula, ketika saya tercenung di kompleks pekuburan tua Belanda, di Kerkhoflaan, Tanah Abang, yang Bang Ali Sadikin menuliskan kalimat manis di sebuah prasastinya:

“Di Taman ini terlukis peristiwa sepanjang masa dari goresan prasasti mereka yang pergi. Disini pula tertanam kehijauan yang kita dambakan. Taman Prasasti Kebon Jahe.”

Kompleks pemakaman dengan nama-nama indah yang terpahat di prasasti, Olivia Mariamne, Baron van Imhoff, dan patung-patung di sana-sini, yang seakan dihuni oleh para arwah yang berdiam di sana.

Juga, ketika tersesat di pekuburan Cina, di Menteng Pulo, wilayah kematian dan kehidupan yang tak jelas batasnya, dengan kuburan di beranda rumah, rumah di antara kuburan, bahkan kuburan di bilik tidur. Dengan kawanan kambing kurus, ayam, dan bebek yang saban hari berkeliaran mencari nafkah. Pastilah ada cerita hebat di sana, pendek dan panjang, yang tak habis-habis untuk ditulis. Berkitab-kitab.

Atau, ketika membayangkan manusia-manusia sandal jepit yang menyuruk di dalam keranjang ondel-ondel yang berbusana cantik dan gagah, yang berwajah jelek dan seram, yang berjalan dari kampung ke kampung Jakarta yang padat. Atau mereka, para badut dan ‘jagoan’ yang sepanjang siang terik di perempatan jalan, berbungkus busana plastik Satria Baja Hitam, makhluk trasformer, Bobo Kelinci, Upin-ipin, yang keringat dan airmata mereka telah mengering kerontang, karena dehidrasi sepanjang hari. Karena kemiskinan sepanjang hidup.

Menyaksikan semua itu, saya selalu disatroni bermacam cerita. Komedi, tragedi, percintaan panas, kekejian, horor gelap, tipu muslihat, pembunuhan berantai, perselingkuhan brutal, kesedihan yang akut, atau mungkin, kebahagiaan-kebahagiaan kecil dan sukacita yang tulus. Saya diberondong kisah. Dicecar riwayat. Yang sebagian saya pikirkan sendiri. Saya karang sendiri. Yang tak pernah sama. Kadang absurd, kadang realis, surealis, magis, mistis. Nyeri. Jenaka. Ganjil tak terperi.

***

Jauh berpuluh tahun yang silam, di kampung saya, sebuah lagu yang terdengar dari radio besar tetangga saya, Philips mereknya, selalu membuat imajinasi kanak-kanak saya berpendar. Judulnya Gang Kelinci. Mungkin, kita semua pun pernah membayangkan gambaran kata ‘berjubel’ di lirik lagu itu. Dengan bermacam wajah dan teriakan ‘anak-anak kelinci’. Saya pun membayangkan sejumlah piring nasi. Kamar-kamar yang bagai liang-liang, tempat semuanya bersesakan. Persenggamaan yang bertubi-tubi, tanpa rahasia.

Demikian pula tatkala menyanyikan lagu Sepasang Mata Bola, karya Ismail Marzuki (sang komponis Betawi yang mati muda, yang juga punya kisah hidup tersendiri), bersama sebuah grup vokal esema saya. Membayangkan stasiun Jatinegara dengan gerbong-gerbong penuh laskar, yang berpakaian aneka rupa. Gerbong-gerbong dengan bau asin dan amis. Peron suram. Senja. Lampu sinyal. Pertemuan. Perpisahan. Revolusi. Pidato radio Bung Karno. Dengus lokomotif. Kleneng andong di jalanan.

Pikiran saya pun selalu saja bertamasya ke sana kemari, ketika telinga saya digelitik oleh lirik lagu-lagu karya seniman jenius, Benjamin Sueb: Kompor Meledug, Nonton Bioskop, Kecoak Nungging, dan sebagainya. Saya bisa piknik ke berbagai tempat dan peristiwa, di mana orang-orang Betawi berkumpul dan asyik bercengkerama.

Lalu, tentang keindahan bulan. Agaknya sudahlah terlalu biasa di muka bumi ini. Homo Soloensis juga pernah terpesona memandangi bulan di atas desa Ngandong, beribu tahun lalu. Tapi, ketika Sitor menulis: “Malam Lebaran. Bulan di atas kuburan”, pengalamannya ketika sepulang dari rumah Pramoedya Ananta Toer, urung bertemu, dan ia tersesat, menemukan pekuburan luas di balik sebuah tembok, sekonyong-konyong saya bisa membayangkan banyak hal. Segugusan sihir paradoks yang amat menawan. Malam Lebaran, momen menuju hari pembebasan. Pengampunan. Suara takbiran bersahutan, arak-arakan, baju lebaran, sanak kerabat, kue satu, ketupat, opor ayam, tapi juga kuburan, yang membentangkan kontras makna tentang kematian, kesedihan, kesepian, kehampaan, beririsan dengan kerinduan, dan sukacita. Begitu pula hamparan imaji dan tafsir hermeneutika sufistiknya, agaknya bisa panjang sekali. Mungkin tidak ada bulan saat puisi itu ditulis, tapi mengapa kita tidak boleh membayangkan ada bulan di sana?

Ketika Mochtar Lubis di dalam penjara, sekitar tahun 1957, pernah ia menulis novel, Senja di Jakarta. Permenungan dan penggambaran blak-blakan realitas politik dan sosial, kemelaratan, korupsi yang mulai berbiak, kejahatan, dan pengkhianatan intelektual, yang menderas keruh di bawah permukaan kehidupan sehari-hari Jakarta masa itu, yang rupanya masih saja aktual dan relevan dengan kondisi hari ini.

Sebelumnya, Pramudya Ananta Toer, menulis novel Bukan Pasar Malam, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1951. Beberapa tahun saja setelah Proklamasi di Pegangsaan Timur. Ikhwal yang hampir sama dengan yang dikabarkan oleh Mochtar. Pergolakan batin seorang pejuang yang masygul dan tak menemukan gambaran ideal yang ia bayangkan ketika kemerdekaan yang diperjuangkan sudah dicapai.

Lebih setengah abad yang lalu, Misbach Yusa Biran pernah pula menulis buku tentang Keajaiban di Pasar Senen, kisah-kisah unik perihal kehidupan para seniman di kawasan Pasar Senen, yang datang entah dari penjuru mana saja. Para seniman dari berbagai aliran, dengan tabiat yang bermacam, dan sebagian kemudian menjadi seniman kesohor negeri ini.

Puluhan tahun kemudian, seorang Rendra menuliskan puisinya yang fenomenal: “Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta.” Termaktub dalam buku kumpulan puisi Blues Untuk Bonnie. Menguarkan tema yang sama dengan pendahulunya, Pram dan Mochtar, Rendra pun menghujat telak, tanpa tedeng aling-aling, kemunafikan para elit, yang sok suci tapi justru bergelimang keringat dan lendir di selangkangan para pelacur. Fenomena pelacuran, dan pengkhianatan, di mata sang penyair tak semata ditengok dari kacamata moral, tapi juga yang struktural, borok-borok kekuasaan yang busuk. ‘Keberanian’ dan kemerdekaan berpuisi yang kini nyaris tidak kita temukan lagi.

Demikianlah.Tulisan ini akan beratus-ratus lembar tebalnya, jika semua persoalan dan fenomena sosial kota dalam sastra, baik yang pernah dituliskan, sampai hari ini, maupun yang mungkin (akan) dibikin harus dideskripsikan. Baik berupa prosa maupun puisi.

***

Saya berpendapat, sebuah kota, seperti Jakarta yang dihuni lebih 10 juta manusia, dengan segala riuh-rendah sejarah dan kisah-kisah unik setiap warganya, adalah harta karun yang melimpah, yang tak ada habisnya. Bagai harta karun Ali Baba di Arab. Atau Jack Ma di Cina.

Kota yang dialiri banyak sungai: Ciliwung, Kali Angke, Kali Pesanggrahan, Kali Cipinang, Kali Cakung, dan lainnya, yang punya cerita unik di sekujurnya. Warga dengan pernak-pernik kebudayaan airnya. Dengan ikan-ikan endeminya, ikan berot, ikan baung, ikan soro, ikan senggal, belida, yang satu-satu musnah dari muka bumi ini.

Kota dengan beberapa cuil hutan buatannya, seperti yang tumbuh menghijau tepat di seberang rumah saya, yang terkesan amat biasa, bahkan mungkin tak berarti bagi mereka yang bermukim di kampung pedalaman di tepi hutan rimba, atau kini, hutan rambung dan sawit. Tapi ada yang dakhsyat di hutan kota itu. Burung-burung dan rama-rama yang riang bersuaka, yang agaknya, tidak kita kenali lagi namanya. Entah darimana mereka datang. Juga, serangga khas kota. Dan rayap, yang siap menggerumus apa saja.

Jakarta adalah megakota dengan kampung manusia Betawi yang tersisa, dan tersia: Condet, Kampung Tengah, Bale Kambang. Yang lima puluhan tahun lalu ditetapkan oleh Ali Sadikin sebagai cagar budaya. Tapi deru waktu seperti berdesing di sana. Dahulukala masih ada rumah bapang, kebun salak, duku, rambutan, dodol, dan sebagainya. Kini kawasan sejuk hijau itu sudah disesaki oleh rumah beton, pagar-pagar pengasingan, dan diramaikan dengan gerai-gerai penjual parfum dari Yaman. Aha!

***

Jakarta adalah ladang inspirasi yang tak habis-habisnya.

Kota campur aduk budaya, yang kita bisa menyimak tabuhan rebana ketimpring dimainkan para engkong, di sebuah sudut kampung Rawa Belong, tempat saya pernah tinggal 30 tahun yang lalu. Lagu yang dilantunkan dengan suara serak parau rombongan lelaki Betawi tua, yang dari kejauhan terdengar mengharukan. Tapi kita juga bisa mendengar gondang Batak ditabuh bertalu-talu di Cililitan.

Kota dengan wajah para seniman kondang merajai halaman surat kabar dan layar gawai, tapi rombongan Samrah Betawi warisan Bang Firman Muntaco, Samrah Tiga Delapan asuhan Sarmada, Samrah Kencana pimpinan Bang Zein, atau Samrah Sanggar Betawi bentukan Bang Harun, yang memainkan lagu-lagu dari tanah Deli: Sri Langkat, Kuala Deli, Mak Inang Pulau Kampai, Tudung Periuk, Pancang Jermal, Masmerah, satu-satu gering dan ko’it kelojotan ditengah gemah ripah loh jinawi gempita kemakmuran dan gemerlap Jakarta. Tentu, banyak sekali kisah yang berkelindan dari fenomena akulturasi kesenian itu. Sebagian riang bahagia, sebagian perih tak terkira.

Saya pun sempat mengenal Babe Muhiddin, yang wafat dua tahun lalu, maestro seni Betawi yang kemana pergi membopong akordeon Itali, yang bergaul karib dengan para seniman yang datang dari tanah Deli. Siapakah yang pernah menuliskan cerita tentang seniman, guru rendah hati yang kepiawaiannya mempesona banyak orang itu? Bahkan namanya kerap terdengar di tengah percakapan para seniman Melayu di Medan.

Kota dengan para kumpulan seniman keroncong jenial yang unik tiada dua, di Kampung Tugu, pemukiman yang tumbuh sejak tahun 1600-an, sesudah Masehi. Andre Juan Michiels dan keluarganya, pewaris ketiga kesenian yang justru tak ada di Portugis itu, hari ini masih bisa kita dengar derung-kentrung ukulelenya melantunkan Oud Batavia, atau Cafrinho.

***

Fenomena sosial kota adalah sumber inspirasi yang kaya raya.

Sastrawan, sebagai bagian dari kaum intelektual dapat mencermati dan melakukan perenungan ikhwal persoalan sosial yang silang kelibut di sekitarnya. Dan menuliskannya menjadi karya yang layak dibaca dan dikenang. Robohnya Surau Kami, adalah contoh lugas yang diberikan oleh Navis, dalam mengupas sampai ke sumsum terdalam yang menyakitkan tentang fenomena perubahan sosial itu. Kisah tentang seorang penjaga surau yang menyembelih lehernya sendiri, karena diguncang kegelisahan dan kecewa, dan merasa tak berguna. Berupa-rupa suasana tergambar berkilasan lewat cerpen itu. Cerpen yang membuat Navis dihujat sekaligus dipuji.

Dalam lanskap yang lain, saya terkesan pada novel Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata. Cerita-cerita sederhana, yang meski dianggap tidak sastrawi, tapi laris manis, dan sudah diterjemahkan ke dalam lebih 26 bahasa: India, Perancis, Spanyol, Belanda, Portugal, Turki, Kenya, Myanmar, Ukraina, Ethiopia, Hungaria, Bulgaria, Arab, dan entah apa lagi. Meraih pula Winner General Fiction pada New York Book Festival dan Winner Buchawards di Jerman. Andrea pun berangkat dari fenomena sosial di sebuah tempat di Belitung, dengan Ikal, Lintang, dan kawan-kawannya, sebagai tokoh.

Mengesankan, karena Andrea fasih dan khatam menceritakan seluk-beluk lokus dan fokus, sebuah negeri yang ia kenal betul manusianya. Ia pun sangat sadar, ikhwal kekayaan unik yang dimilikinya sebagai anak Belitung, yang orang lain, nun jauh di benua luar sana, tak memilikinya.

Di negeri lain, Budi Darma, pernah pula menulis cerita-cerita aneh dalam bukunya Orang-orang Bloomington. Kumpulan cerpen mengenai kehidupan Yoshua Karrabish, Yorrick, dan lain-lain, warga kota Bloomington, yang ditulis oleh Budi Darma saat menjadi mahasiswa di Indiana University pada tahun 1970-an. Kisah-kisah tak biasa, yang dipotret oleh Budi Darma, dengan jeli, cermat, dan dingin. Dan sekali tulis. Intensitas mengamati dan menulis yang sungguh tak mudah ditandingi.

Suasana, latar peristiwa, arus pemikiran yang berhulu dari perubahan, pergeseran, perpindahan, peralihan, kesenjangan, benturan, dan segala yang bergerak berpusar di tengah kehidupan masyarakat kota yang dinamis itu, tak ayal menjadi tungku jerangan yang sahih untuk melahirkan karya sastra yang ajaib dan dakhsyat. “Fenomenal, fantastis, spektakuler!” kata Thukul Arawana setiap kali, di televisi.

Jakarta, yang sesungguhnya adalah melting-pot berbagai etnis dan kultur, bahkan orang Betawi sekalipun, menawarkan selebar-lebarnya khazanah itu.

Lokus dan fokus yang amat khas, seperti Pecinan, Pekojan, Kampung Bali, Kampung Makasar, Kampung Ambon, Kampung Melayu, Manggarai, orang-orang Bugis, Bawean, Batak, Minang, dan sebagainya, dengan segala adab budaya dan tipikalnya, sekedar sebagai contoh, sudah tak sabar menunggu untuk digali, dan dibesut. Menjadi santapan yang gurih dan kaya nutrisi.

***

Saya terkesima lama, dan berkali-kali membaca ulang Orhan Pamuk, yang menuliskan dengan indah segala hal tentang kota kelahiran dan mukimnya, lewat buku bertajuk Istanbul, Kenangan Sebuah Kota.

Memoar tentang hal ikhwal sederhana saja, sebenarnya. Sebagian lewat mata bocah dan ingatan kanak-kanaknya. Sebagian lewat renungan-renungannya yang intens sebagai sastrawan. Benda-benda, foto sepia, lukisan kusam, lanskap, penanda kota, bangunan tua, jembatan, sungai, buku-buku berdebu dalam almari, jalanan sunyi berbatu, bukit-bukit yang menyimpan artefak. Bermacam hal yang ia amati dan kisahkan dengan berlatar mitos, dongeng, biografi, legenda, fantasi, desas-desus, juga fakta-fakta. Tentang silsilah keluarga, sahabatnya, wajah ibunya, sahabat ayahnya, sahabat dari sahabat ayahnya, orang-orang yang duduk-duduk di tepi selat Bosforus, para seniman yang datang dan pergi, para tokoh sejarah, gembong politik, sosok Kemal Attaturk, yang ia tilik dengan jujur. Apa adanya. Saking jujurnya, malah jadi terasa menakutkan.

Kuat dugaan saya, pemahaman, penghormatan yang luar biasa, dan tafsir kritisnya terhadap seluk-beluk-ceruk gelap, remang, dan terang kotanya itulah, yang kemudian mengganjarnya dengan hadiah Nobel, lewat novel-novelnya yang amat kuat menangkap detil dan kilat suasana, serta karakter tak terduga: The White Castle, My Name is Red, dan Snow. Novel-novel yang menggetarkan, yang seakan kita adalah salah seorang pelakunya. Berkeliaran di antara ruang dan jalanan, dikuntit gelisah, dengan pikiran yang setengah gila.

Saya kira, kita juga adalah pemilik kisah-kisah mendebarkan, sebagaimana ditulis oleh Pamuk. Bahwa kita sebenarnya tengah melakukan residensi, tanpa batas, sebagai pengamat sekaligus sebagai pelaku, penghuni, di sesak-padat-bising-bau Jakarta ini. Bertahun-tahun menjadi bagian dari fenomena. Mungkin pula, salah satu sumber fenomena, biang masalah. Urbanisasi, gunungan sampah, kemacatan, kerusuhan, korupsi, anarki, dan sebagainya. Bukan lagi sekedar sebagai pelancong yang riang dengan peta dan kamera turistik di tangan. Dengan slogan banal: “Hidup, mah, sekedar ngopi dan numpang selfi doang!” Beuh! Sesungguhnya kita adalah bagian inheren dari sebuah kota sebagaimana gambaran yang dituangkan dengan hiperrealis kritis oleh pelukis Dede Eri Supria, misalnya, yang selalu saya kenang dengan nyeri: Labirin kota, kardus mie instan, iklan Cocacola, peranca bangunan, zebra cross, atau kelebat tubuh luka orang-orang yang bergelantung di bis kota.

Tapi kita dalam banyak waktu dan kesempatan, abai pada hal-hal yang terasa biasa. Lupa pada ‘kemewahan’ yang terhampar. Pada keberuntungan yang kita dapatkan. Kita sibuk mementingkan urusan dan persoalan kita, kepiluan kita, melankolia kita, sejarah pendek kita sendiri. Ketimbang menjadi pemukim dengan keingintahuan yang lebih, yang telaten, yang eling dan waspada, yang selalu penasaran. Terpesona. Yang tak henti kepo sekepo-keponya membaca fenomena di sekitar kita, dengan gugusan pertanyaan di kepala bagai rumput liar yang bertumbuhan lebat sepanjang waktu.

Tak meski menjadi sejarahwan, atau antropolog, atau sosiolog, untuk membaca dan menuliskannya. Itulah dilakukan oleh Pater Adolf Heuken, yang menelusuri dan menulis dengan tekun Hikayat Jakarta, atau, bahkan, pastor yang pernah saya bercakap-cakap dengannya di sebuah ruang selesa dengan banyak buku dan jendela lebar terbuka di sebuah rumah tua di kawasan Menteng, takzim menulis buku tentang Mesjid-mesjid Bersejarah di Jakarta.

Ah. Saya jadi teringat sebuah buku dengan kata pengantar dari Budi Darma. Ditulis oleh Michael Pearson. Judulnya Tempat-tempat Imajiner. Pearson, pembaca buku yang khusuk dan fanatik, dengan tingkat keingintahuan diatas rata-rata, yang mengembara mengunjungi dan mengamati kota-kota, tempat-tempat yang menjadi latar novel yang ditulis oleh para novelis yang ia kagumi, yang selalu terngiang dalam imajinasinya: Key West (Hemingway), Salinas (Steinbeck), Missisippi (Faulkner), Vermont (Robert Frost), Missouri (Mark Twain), Georgia (O’Connor).

Yang ingin saya katakan, betapa kuat sesungguhnya daya pikat lokus dan fokus dalam karya sastra, mengendap bertahun dalam benak pembacanya. Tempat-tempat berdiam Hemingway, Steinbeck, dan kawan-kawan, yang kuat menjadi citraan batin para pelaku dalam novel mereka, mewakili pengalaman riel dan imajinasi para novelis itu. Dan semuanya menjadi sejarah yang mengendap jauh, memenuhi bilik ingatan pembacanya, seperti Pearson.

***

Jakarta, satu-satunya kota Indonesia, yang menjadi satu dari 49 kota lain di dunia yang terpilih sebagai City of Literature atau Kota Sastra Dunia. Diumumkan oleh UNESCO pada November 2021. Terpilih berdasarkan kategori kota yang memiliki sejarah panjang dan memiliki potensi besar untuk peningkatan dan pengembangan sastra dan literasi. Dan lebih jauh, terkandung pula potensi untuk meningkatkan pengetahuan dan pengalaman khalayak pembaca. Bahkan, bukan tak mungkin, memberi peluang untuk disimak oleh khalayak pembaca dengan berbagai bahasa, sebagaimana novel Laskar Pelangi itu.

Beberapa bulan lalu, ketika menghadiri Temu Penyair Asia Tenggara II di Padang Panjang, saya menemukan sebuah buku keren: Kota-kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai. Buku setebal 310 halaman yang bercerita tentang kota sebagai subyek yang lahir, bertumbuh, dan berubah. Yang hidup dan mati. Laiknya curriculum vitae anak manusia. Ditulis dengan kesungguhan semangat dan rasa ‘kepo’ yang bernyala-nyala oleh Raudal Tanjung Banua, penyair dan cerpenis yang memenangkan banyak anugerah itu.

Raudal malah tidak mendudukkan fenomena sosial kota sebagai latar cerita, atau kelindan sebab-akibat terjadinya perkara, atau abstraksi dari peristiwa dan kehidupan tokoh-tokoh di dalamnya. Ia menuangkan secara deskriptif, dan amat dalam, lukisan spesifik tentang sebuah riwayat dan wajah kota: persimpangan dan keloknya, lampu, dermaga, kedai-kedai, pohon, sebatang jalan, rumah-rumah yang berubah dan yang degil tak ingin berganti bentuk, tentang yang sekarang dan di masa lalu, tata ruang yang berantakan, lanskap, geografi, sejarah, watak orang-orangnya, hingga citarasa kekuasaan yang mengendalikannya. Lengkap dengan alur cerita, konflik, klimaks, dan penutup yang membuat pembaca boleh tercenung berhari-hari.

Ada persoalan yang merundung. Sumber daya alam yang menyusut, sejarah yang kusam, memudar, dan meredup, prasarana yang kacau, politik penyeragaman, gempuran bencana alam, desakan pertumbuhan penduduk, kota yang kumal dan rongsok akibat dijarah korupsi, arus tsunami ekonomi global, papan iklan yang merayu dan menghina, gaya hidup yang artifisial, kedai buku yang hilang, dan sebagainya. Lalu ia pun menetapkan 15 tulisannya dalam buku itu sebagai cerpen. Ya, cerpen. Tanpa tanda kutip.

Ia pun menuliskan kota-kota yang diangan dan yang ia temukan sepanjang perjalanan rindu-dendam asyik-masyuknya di pelosok Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, sebagai organisme, entitas, ‘sosok’ yang hidup dengan karakter, sifat, emosi, lagak lagunya. Meracik dengan gairah, pelbagai legenda, mitos, dan sejarah, dengan bumbu filosofi, kajian antropologi, lamunan, fiksi. Mengawinkan fakta, opini, imaji.

Ia membuat peta – tapi tidak seperti kartograf yang saklek – tentang kota-kota yang bertumbuh, yang bergerak menggeliat, yang sibuk berdandan, atau yang menderita sakit menahun, dan sekarat. Atau kota yang kesepian. Ditinggalkan. Hanya sebagai ruang persinggahan, semacam ranjang kencan semalam. Ada kota yang pendiam. Ada yang nyinyir. Yang berteriak-teriak. Ada yang tampak sombong, tapi tak berjiwa. Kota-kota yang nestapa. Dan seterusnya. Tapi di dalamnya, kita menyaksikan bermacam gejala yang mendera manusia penghuninya: keterasingan, ketidak pedulian, penderitaan yang parah dan struktural, yang merebak menjadi patologis, dengan lalu lalang Joker, begal, penyamun, pembohong, penipu, koruptor, psikopat.

***

Ya, begitulah.

Alkisah, di bagian penutup, perkenankan saya mengenang kedakhsyatan pelaku sastra lisan Betawi. Ialah sohibul hikayat, mereka “yang empunya cerita”, yang selalu mengawali ceritanya dengan kata: alkisah, atau syahdan.

Bang Jaid, yang karena reputasinya sebagai tukang cerita, melahirkan istilah ‘ngejaid’. Kedakhsyatan yang tak sembarangan, yang kemudian diwarisi oleh anaknya, Sofyan Jaid. Kesohor di ceruk pelosok Jakarta, sampai ke Pasar Rebo, Klender, Tambun, Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang. Bercerita dengan piawai ala monologer khas Betawi, tentang kisah Ma’ruf Tukang Sol Sepatu, Nurul Laila, Gambus 12, dan seabreg cerita lainnya.

Tradisi bercerita yang telah dikenal sejak zaman baheula. Ada pula yang disebut “ngebuleng”, yang identik juga sebagai sohibul hikayat. Hanya berbeda tema cerita. Jika sohibul hikayat mengambil tema dari Timur Tengah, ngebuleng mengambil tema-tema lokal.
Sohibul hikayat dan ngebuleng kini dilestarikan oleh generasi Betawi hari ini, dialah Cang Yahya Andi Saputra, dan Bang Suaeb Mahbub. Cang Yahya menampilkan Sohibul Hikayat, dan Bang Suaeb menampilkan Ngebuleng. Dua tokoh yang khidmat mewarisi dan mewariskan nilai-nilai tradisi Betawi, dan penyebaran bahasa Betawi.

Yang ingin saya sampaikan dengan rasa hormat yang dalam, ialah bahwa kesediaan mewarisi tradisi sastra lisan itu tidaklah main-main. Ada spirit dan kecintaan yang tak terukur di sana, dengan kelebihan-kelebihan tertentu, yang tak dimiliki oleh banyak orang. Kekayaan khazanah, tersimpan rapi dalam ingatan mereka. Kultur Betawi. Kearifan lokal Betawi. Memori kolektif orang Betawi. Ingatan tentang Jakarta, tanah tumpah darah mereka.

Dari sana pula, sebenarnya kita bisa melakukan kerja-kerja intertekstualitas lewat tumpukan khazanah yang tersedia: Kisah Ma’ruf Tukang Sol Sepatu, Si Pitung, Abang Jampang, Si Manis Jembatan Ancol, lirik-lirik jenaka lagu Benjamin Sueb, Gang Kelinci dan Jali-jali yang dinyanyikan Lilis Suryani, sketsa-sketsa yang ditulis oleh Firman Muntaco, S.M. Ardan, Mahbub Junaedi, atau Babe Ridwan Saidi, buku puisi Jampe Sayur Asem-nya Yahya Andi Saputra, Hikayat Jakarta yang ditulis Romo Heuken, cerita-cerita sandiwara dan lirik lagu yang disenandungkan Samrah Betawi, dan seterusnya. Atau, lirik rindu Kembali ke Jakarta, lagu lejen yang dinyanyikan oleh kugiran Koes Plus, yang selalu kita nyanyikan dengan genang air di sudut mata.

Tentu saja, sambil blusukan serius, menziarahi berbagai situs, mencatat segala hal sebelum punah, dan terbenam menjadi fosfor, di pelbagai pekuburan, di bawa pergi oleh para pelaku dan penyaksi sejarah, di Karet, Menteng Pulo, Tanah Kusir, dan sebagainya.

Dengan berbekal kekayaan itulah, saya kira, seorang Orhan Pamuk kemudian mempersembahkan novel-novelnya ke khalayak dunia, tentang Istambul dan segala sesuatu yang hidup dan mati di dalamnya. Atau Raudal Tanjung Banua, dengan kota-kota kecil yang terus hidup di dalam kepalanya, kota yang ia singgahi dengan berbekal angan dan ingatan, kota-kota hikayat, kota rantauan, kota pelarian, kota gaib, kota air, dan sebagainya.

***

Syahdan, sesungguhnya ada banyak puisi, cerita pendek atau panjang, atau mosaik novel: di kedai soto Maaruf, di warung mie Aceh Agam Daud di Pondok Gede, di gerbong komuter, stasiun dan terminal, di mesjid tua Luar Batang, di Museum Fatahillah, di pasar batu akik Jatinegara, di bangunan kolonial kawasan Menteng, di lorong Petamburan II yang panas dengan teriakan takbir, di Taman Ismail Marzuki yang dulu pernah jadi arena balapan anjing, tapi kini sunyi sepi, atau sebutlah di mana saja.

Saking bejibunnya, dan saya pun tak sempat-sempat menuliskannya, maka untuk sementara saya tayang saja sebagai ‘puisi tanpa kata’. Gambaran-gambaran visual tentang tempat, manusia, dan peristiwa, yang mengandung banyak kisah, sedih dan gembira, yang puitik.

Jadi, begitulah. Pada bagian yang benar-benar penutup, perkenankan saya menyelipkan puisi pendek saya, tentang Raden Saleh dan ikhwal yang terbengkalai di sekitarnya, berikut ini:

Raden Saleh tidak melukis lagi
ia adalah penjaga malam
pada sebuah menara teropong
yang sudah lama ditinggalkan
Kadangkala ada seseorang yang
tersesat dan mencari bintang
penunjuk jalan ke arah pulang
Tapi penjaga malam yang
menderita rabun jauh itu
hanya bisa menunjukkan bulan
sambil mendoakan yang tersesat
agar segera kembali ke jalan
yang bukan jalan Daendels,
Gobnor Jenderal, yang
membongkar rumahnya dan
mengusir kunang-kunang
yang bersarang di buku-buku,
di batang angsana, di guci
anggur, di gramofon, dan
di dalam peti radio yang
saban pagi memutar lagu
“Sepasang Mata Bola.”

(**/BRO-1)

Catatan  : Makalah atau tulisan Tatan Daniel berjudul JAKARTA TAK SEMATA PUISI TANPA KATA (setebal 11 halaman) ini disampaikan pada Forum Diskusi MEJA PANJANG di Selasar Lantai 5, Gedung Ali Sadikin, Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Jumat lalu (28 Juli 2023).

Pada hari ini (Rabu 2 Agustus 2023) makalah atau tulisan ini kembali diposting di Facebook Tatan Daniel  dan di ‘ tag’ (diteruskan) ke  laman facebook Lasman Simanjuntak.

 

Editor : Pulo Lasman Simanjuntak

Pemimpin Redaksi beritarayaonline.co.id

Tinggalkan Balasan