Jakarta,BeritaRayaOnline,- Besarnya utang terus membebani laju perekonomian Asia Tenggara, kendati reli mata uang dan kenaikan di bursa saham terus berlangsung. Masuknya kembali aliran dana investor asing belum menurunkan tekanan utang sebagai ancaman terbesar untuk stabilitas perekonomian.
Pemerintah dan perusahaan Indonesia, Malaysia dan negara-negara lain di kawasan ini masih tetap rajin mengumbar surat utang pada tahun ini, setelah menjual banyak surat utang dolar sejak tiga tahun lalu. Risiko peningkatan utang dolar akan membesar jika Federal Reserve kembali menaikkan suku bunga, reli dolar atau daya beli mata uang lokal menurun.
Kembalinya sentimen positif terhadap emerging market belakangan ini, memang bisa menyembunyikan ancaman “dosa utang”. Tapi pesatnya peningkatan utang sedikit banyak kerap dinilai sebagai cerminan kesulitan pendanaan yang dihadapi negara berkembang.
Saat ini, EM banyak mendapat keuntungan dan menurunnya ekspektasi kenaikan suku bunga AS dan pelonggaran moneter lanjutan dari Jepang dan Eropa. Bahayanya adalah, negara-negara berkembang termasuk Asia Tenggara, melupakan periode stabilitas saat ini hanya untuk mengejar kerentanan, berupa timbunan utang dolar.
“Manisnya ekonomi Asia Tenggara saat ini, bisa sangat singkat,” kata Santitarn Sathirathai, kepala ekonomi dan strategi Asia Tenggara dan India, Credit Suisse Group AG. “Jika The Fed menaikkan suku bunga dengan lebih agresif dari perkiraan, ekonomi sejumlah negara Asia Tenggara akan menjadi rapuh,” imbuhnya seperti dikutip Bloomberg (7/4).
Berdasarkan data Bloomberg, pemerintah dan pengusaha negara-negara Asean, telah meraup dana sekitar US$10 miliar dari penerbitan obligasi dolar sepanjang tahun ini. Lebih seperempat dari total penerbitan surat utang dolar pada sepanjang tahun lalu. Indonesia menempati urutan pertama penerbit obligasi dolar sebesar US$4 miliar, diikuti Filipina US$2 miliar, dan Malaysia US$1,75 miliar.
Namun risiko “dosa utang” paling akut dialami Malaysia. Laporan Dana Moneter Internasional tahun lalu menyebutkan, utang perusahaan-perusahaan di Malaysia diperkirakan mencapai 70 persen dari produk domestik bruto negara itu. Sementara itu utang perusahaan swasta Indonesia hanya mencapai 20 persen PDB.
Laporan Nomura Hodings Inc. menunjukkan, porsi utang rumah tangga Malaysia juga menempati posisi tertinggi di kawasan, lebih dari 89 PDB. Sedangkan Indonesia hanya mencapai 16 persen.
Dari sisi ketahanan devisa, Malysia juga menjadi salah satu negara di posisi terburuk. Societe Generale SA mengestimasikan, hanya dua negara besar emerging market yang mempunyai cadangan devisa di bawah standar rekomendasi IMF, yaitu Malaysia dan Afrika Selatan.
Risiko utang Malaysia juga bertambah besar karena tengah berada dalam krisis politik terkait skandal korupsi Perdana Menteri Najib Razak. Ketidakpastian ekonomi Malaysia semakin diperberat dengan rencana gubernur bank sentral Zeti Akhtar Aziz untuk mundur pada bulan ini.
Sejatinya, pemerintaha di Asia Tenggara sudah berjalan baik sejak krisis keuangan Asia 1998 silam. Cadangan devisa meningkat, neraca ekonomi dan stabilitas nilai mata uang membaik. Bahkan disebut-sebut bahwa kondisi ekonomi negara-negaa Asia Tenggara pada saat ini cukup kuat untuk meghadapi badai ekonomi global.
Saat ini, kawasan Asia Tenggara dinilai banyak mendapat manfaat dari pembalikan tajam sentimen emerging market dibanding awal tahun lalu.
Contohnya Indonesia: Oversea-Chinese Banking Corp. memperkirakan, sejak awal tahun ini sudah sekitar US$5 miliar dana asing neto mengalir kembali ke obligasi pemerintah dan sekitar US$300 juta masuk ke pasar saham. Sebagian besar aliran dana asing itu, disebabkan oleh pelemahan dolar dan ekspektasi bahwa The Fed akan lebih lambat menaikkan suku bunga.
Analis Goldman Sachs Group Inc. dalam laporannya pekan lalu memperingatkan, pasar Asia Pasifik – termasuk Asia Tenggara – menilai rendah kemungkinan kenaikan suku bunga The Fed lebih lanjut. Tapi jika kenaikan itu terjadi dalam waktu dekat, ada potensi besar akan terjadinya “pembalikan aliran modal asing ke ekuitas dan pasar kredit.”
Setiap perubahan proyeksi siklus pengetatan suku bunga The Fed bisa memicu depresiasi mendadak nilai mata uang negara-negara Asia Tenggara, tergilias reli dolar. “Kondisi tersebut bisa menimbulkan situasi sulit di kawasan yang saat ini tengah menikmati manisnya aliran modal asing,” ungkap OCBC. (***/nuh/jubir/jhonnie castro)
sumber berita dan gambar : ipotnews/bloomberg